Jakarta – Di depan Polda Metro Jaya, mahasiswa dan massa aksi kembali turun ke jalan. Mereka tak lagi basa-basi: Kapolri harus mundur. Bukan sekadar kritik, ini ultimatum.
Tragedi Affan Kurniawan jadi pemicu, tapi akumulasi kebusukan Polri yang jadi bahan bakar. Rezim seragam cokelat dianggap lebih sibuk menjaga citra daripada menjaga nyawa.
Teriakan di Jalan, Telinga di Istana
Massa menuduh Polri gagal total: represif di jalan, mandul di penegakan hukum.
Spanduk dan orasi lantang menggaung: “Kapolri mundur sekarang juga!”
Kapolda turun menemui, tapi publik sudah tahu skenarionya: janji akan “menyampaikan aspirasi.”
Pertanyaannya: sampai kapan suara rakyat hanya dipantulkan dinding birokrasi?
Polri di Persimpangan
Jalan Reformasi
Mendengar rakyat, memperbaiki institusi, dan sadar bahwa jabatan bukan selamanya.Jalan Pembangkangan
Bertahan dengan tameng kuasa, menganggap suara mahasiswa sekadar bisingan.Jalan Buntu
Semakin lama menutup telinga, semakin besar gelombang rakyat yang akan menghantam.
Kapolri: Simbol yang Retak
Polri selama ini ingin tampil sebagai pelindung rakyat. Tapi di mata publik hari ini, simbol itu sudah retak.
Di jalan, rakyat diseret. Di ruang sidang, kasus diulur.
Di istana, senyum rapi disiarkan.
Maka wajar jika mahasiswa menyimpulkan: Kapolri bukan solusi, tapi bagian dari masalah. Demonstrasi ini bukan sekadar protes; ini vonis moral. Jika Kapolri terus bertahan, ia sedang menulis epitaf sendiri:
“Seorang jenderal yang memilih citra daripada kepercayaan, kursi daripada kehormatan.”
Dan ketika mahasiswa sudah turun ke jalan dengan tuntutan sekeras ini, pintu keluar sebenarnya sudah terbuka—tinggal keberanian untuk melangkah.