Become a member

Get the best offers and updates relating to Liberty Case News.

― Advertisement ―

spot_img
HomeNewsJejak Bayang di Balik Kerusuhan: Antara Dendam Lama, Agenda Tersembunyi, dan Taruhan...

Jejak Bayang di Balik Kerusuhan: Antara Dendam Lama, Agenda Tersembunyi, dan Taruhan Politik Nasional

Jejak bayangan di balik kerusuhan massa yang terjadi baru-baru ini tidak bisa dipandang sebagai peristiwa spontan yang lahir dari kemarahan rakyat semata. Berdasarkan penjelasan Kolonel (Purn) Sri Radjasa, seorang pengamat militer yang memahami dinamika TNI dan operasi keamanan, eksekutor kerusuhan adalah orang-orang terpilih secara sengaja. Mereka bukan sekadar massa acak, melainkan individu yang memiliki peran spesifik, terlatih dalam aksi terkoordinasi, dan diarahkan untuk mencapai tujuan politik tertentu.

Menurut Sri Radjasa, target aksi bukan hanya gedung-gedung publik, tetapi juga rumah tokoh-tokoh nasional, termasuk Ahmad Sahroni, Uya Kuya, Ibu Sri Mulyani, dan Puan Maharani. Dengan kata lain, kerusuhan ini bukan hanya soal demonstrasi, tetapi juga serangan terukur terhadap institusi dan figur publik, yang secara psikologis menekan DPR agar tidak menjalankan fungsinya secara bebas. Hal ini menimbulkan atmosfer teror yang membuat anggota DPR merasa takut untuk mengambil tindakan yang berpotensi menimbulkan konflik dengan pihak-pihak tertentu.

Kehadiran TNI, terutama pasukan tempur Kostrat, menjadi sorotan. Sri Radjasa menegaskan bahwa Kostrat turun ke lapangan atas permintaan polisi, sesuai mekanisme operasi militer selain perang. Namun, pasukan tempur ini sebenarnya tidak dirancang untuk mengendalikan demonstrasi sipil atau anti-huru-hara. SOP mereka bersifat militer, artinya kehadiran mereka justru bisa menimbulkan eskalasi atau kesalahpahaman. Idealnya, satuan teritorial TNI-lah yang bertugas di situasi seperti ini karena mereka memiliki pengalaman dalam operasi proporsional, bukan satuan tempur yang agresif.

Ironisnya, aparat kepolisian tampak tidak mampu mengendalikan situasi di lapangan. Beberapa insiden menunjukkan lemahnya koordinasi dan pengawasan. Misalnya, polisi sampai memohon kepada massa agar tidak membakar gudang peluru, padahal lokasi tersebut sangat vital dan rawan ledakan. Bahkan kehadiran TNI pun tidak sepenuhnya efektif, karena pasukan tempur tidak diinstruksikan untuk menghadapi massa sipil. Situasi ini memunculkan kesan bahwa kerusuhan dibiarkan atau setidaknya tidak dikendalikan secara optimal.

Analisis Sri Radjasa juga menyoroti adanya dimensi politik terselubung di balik kerusuhan. Tuntutan untuk membubarkan DPR muncul bukan semata-mata karena aspirasi publik, tetapi untuk mengamankan Gibran, yang menjadi target agenda pemakzulan. Dengan terciptanya chaos, anggota DPR mengalami tekanan, merasa terteror, dan takut mengambil langkah tegas terkait kasus-kasus yang melibatkan Gibran. Strategi ini menunjukkan bahwa kerusuhan digunakan sebagai alat untuk mempengaruhi jalannya politik dan mengamankan kepentingan tertentu.

Lebih jauh, Sri Radjasa menyebut adanya peran penyandang dana kerusuhan, yaitu Riza Chalid. Menurut pengamatannya, Chalid memiliki dendam pribadi terhadap Prabowo karena bisnisnya terganggu dan anaknya ditahan. Dendam ini menjadi motivasi finansial di balik kerusuhan, memungkinkan operasi kekerasan yang terstruktur dengan sasaran jelas. Dengan dukungan dana ini, aksi massa bisa berlangsung cepat dan terkoordinasi, termasuk penjarahan, vandalisme, dan intimidasi terhadap anggota DPR.

Kerusuhan ini bukan dilakukan oleh kelompok anarko klasik. Sri Radjasa menekankan bahwa massa eksekutor lebih mirip preman yang sudah terbiasa melakukan kejahatan, diarahkan untuk membobol rumah, merusak fasilitas, dan menimbulkan chaos. Mereka dibagi dalam kelompok-kelompok dengan tugas berbeda, sehingga aksi bisa terjadi secara simultan di berbagai lokasi. Hal ini menegaskan bahwa demonstrasi bukan sekadar aspirasi rakyat, melainkan mekanisme teror politik yang bertujuan menekan DPR dan Prabowo secara tidak langsung.

Analisis kronologi menunjukkan bahwa aksi kerusuhan berjalan terstruktur. Rumah Ahmad Sahroni menjadi target awal, diikuti rumah Uya Kuya dan rumah tokoh publik lainnya. Penjarahan terjadi dalam waktu yang singkat tetapi masif, menandakan adanya koordinasi yang matang. Meski polisi hadir, pengawasan mereka tidak cukup efektif untuk mencegah kerusuhan. Bahkan, aparat kepolisian sempat meminta massa agar tidak membakar fasilitas vital, menunjukkan ketidakmampuan atau pembiaran dalam mengelola krisis.

Sri Radjasa juga menyoroti dampak psikologis terhadap DPR. Anggota dewan merasa terintimidasi, takut menyuarakan kebenaran, dan enggan mengambil tindakan tegas terhadap kasus-kasus politik yang sensitif. Hal ini menimbulkan efek berantai: DPR tertekan, Prabowo berpotensi menjadi target berikutnya, dan kerusuhan menjadi alat politik bagi pihak-pihak yang ingin mengendalikan keputusan institusi publik.

Dalam konteks ini, Prabowo harus menyadari bahwa publik menuntut tindakan nyata untuk menyelesaikan ketidakadilan, terutama yang melibatkan aparat kepolisian. Jika tuntutan ini tidak terpenuhi, potensi gejolak akan tetap ada, dan pada saat itu target tekanan bisa langsung diarahkan kepadanya, bukan lagi DPR. Chaos yang tercipta bisa dimanfaatkan sebagai tekanan politik terselubung, dengan dukungan finansial dari pihak-pihak yang merasa dirugikan atau memiliki dendam pribadi, seperti Riza Chalid.

Sri Radjasa menekankan bahwa masyarakat kini semakin pintar dan kritis. Massa yang datang bukan sekadar spontanitas, melainkan terstruktur, dengan target dan agenda tertentu. Strategi ini memanfaatkan kelemahan aparat hukum, sehingga tercipta ketidakadilan yang nyata dirasakan masyarakat. Publik melihat bahwa aparat hukum tidak bertindak tegas, sehingga ketegangan politik semakin membesar.

Selain itu, kronologi aksi menunjukkan bahwa penjarahan dan vandalisme dipisahkan dari massa asli demonstran. Preman yang terlibat melakukan aksi destruktif, sementara massa yang datang awalnya memiliki aspirasi politik lebih legitim. Hal ini menegaskan teori Sri Radjasa bahwa kerusuhan ini adalah kombinasi dari motivasi politik, dendam pribadi, dan pembiaran aparat.

Lebih lanjut, Sri Radjasa menyoroti aspek keamanan dan risiko besar. Misalnya, insiden yang hampir melibatkan gudang peluru menunjukkan betapa rapuhnya situasi. Jika massa sampai membakar fasilitas vital, konsekuensi fisik bisa sangat besar, termasuk potensi ledakan yang membahayakan publik dan aparat. Kejadian ini menjadi peringatan bahwa kerusuhan yang tampak “terkendali” bisa berubah menjadi bencana jika tidak ada tindakan tegas dan koordinasi yang jelas.

Dari perspektif politik, kerusuhan ini juga menunjukkan bagaimana aktor eksternal memanfaatkan kelemahan sistem. Riza Chalid sebagai penyandang dana memiliki kepentingan pribadi dan dendam terhadap Prabowo. Dengan mendanai kerusuhan, ia menciptakan kondisi yang memungkinkan tekanan politik melalui massa terpilih. Strategi ini efektif karena DPR dan aparat hukum terjebak antara menjaga ketertiban dan menghadapi tekanan politik, sehingga skenario chaos berjalan sesuai rencana.

Kesimpulannya, kerusuhan ini adalah gabungan antara motivasi politik, dendam pribadi, dan kelalaian aparat. Massa terpilih menjalankan skenario yang disengaja, DPR tertekan dan merasa terintimidasi, Prabowo berpotensi menjadi target berikutnya, dan polisi tampak tidak mampu menahan eskalasi. Semua pihak harus memahami bahwa ini bukan sekadar demonstrasi biasa, tetapi ancaman sistemik terhadap institusi negara dan stabilitas politik.

Sri Radjasa mengingatkan bahwa jika negara memilih menutup telinga terhadap aspirasi publik. Keresahan rakyat akan terus membesar dan bisa menjelma menjadi badai sosial-politik yang lebih besar. Publik tidak mudah dibohongi lagi; mereka sudah menyadari motif di balik kerusuhan, siapa yang menjadi eksekutor, siapa yang mendanai, dan siapa yang menjadi target. Kerusuhan ini mencerminkan kegagalan sistem dalam menghadapi kombinasi kekuatan kriminal, politik, dan ekonomi yang bersatu untuk tujuan tertentu.

Dengan demikian, langkah yang harus diambil tidak hanya bersifat reaktif, tetapi juga solutif dan strategis. Termasuk penegakan hukum yang tegas, pengawasan aparat yang efektif, dan perlindungan terhadap institusi serta tokoh publik yang menjadi target. Tanpa langkah konkret, skenario kekerasan ini bisa berulang dan semakin mengancam stabilitas politik nasional, bahkan menimbulkan tekanan langsung terhadap pimpinan negara, termasuk Prabowo.


Sumber : https://youtu.be/XrYkZwG4rOI?si=ksSIpQseHxYBdjNG

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here