Become a member

Get the best offers and updates relating to Liberty Case News.

― Advertisement ―

spot_img

Eks Dirjen Kemnaker Haryanto Absen Panggilan KPK RI Hari Ini

JAKARTA – Mantan Direktur Jenderal Pembinaan Penempatan Tenaga Kerja dan Perluasan Kesempatan Kerja (Binapenta & PKK) Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker), Haryanto, absen dari panggilan KPK...

Sepatu Philipp

HomeNewsDrama Ojol KW di Istana Wapres: Panggung Kosong Pencitraan Gibran

Drama Ojol KW di Istana Wapres: Panggung Kosong Pencitraan Gibran

Jakarta – Pertemuan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka dengan sekelompok orang berjaket hijau di Istana Wapres berubah jadi bahan tertawaan publik. Alih-alih menghadirkan suara asli pengemudi ojek online, yang muncul justru rombongan ojol KW—rapi, jaket kinclong, sepatu mahal—lebih mirip peserta seminar motivasi ketimbang pekerja jalanan yang setiap hari dihajar macet dan polusi.

Asosiasi resmi pengemudi, Garda Indonesia, bahkan langsung pasang sikap: “Itu bukan orang kami, nama kami dicatut demi pencitraan murahan.”

Singkatnya: anggota palsu dipertemukan dengan pejabat asli, demi foto yang terlihat manis.

Ironi yang Menyakitkan

  1. Duka Jadi Properti
    Affan Kurniawan, pengemudi yang tewas saat aksi, dijadikan latar belakang pertemuan. Tapi bukannya menyelesaikan problem nyata—keselamatan, tarif minim, perlindungan hukum—yang hadir malah teatrikal. Empati dikonversi jadi konten.

  2. Bahasa yang Asing
    Salah satu peserta menyebut dirinya “taruna”—istilah yang asing di dunia ojol. Netizen pun langsung mencap mereka: “ojol jadi-jadian.”

  3. Substansi Tertinggal
    Tidak ada janji konkret, tidak ada agenda serius, tidak ada solusi. Yang ada hanya narasi bahwa sang Wapres “dekat dengan rakyat.”

Citra vs Realita

  • Di dunia nyata, driver ojol sedang jungkir balik: tarif makin kecil, order makin seret, resiko kecelakaan makin tinggi.

  • Di dunia istana, driver ojol tampil bagai model katalog: wajah bersih, jaket kinclong, sepatu branded.

Kontras ini begitu telanjang. Inilah teater politik, bukan dialog publik.

Pertanyaan yang Harus Dilempar

  • Apakah Gibran memang tidak tahu mereka “ojol KW”, atau pura-pura tidak peduli selama kamera merekam?

  • Apakah duka rakyat hanya dianggap dekorasi untuk panggung pencitraan?

  • Dan kalau semua hanya gimmick, siapa sebenarnya yang mereka tipu—publik, atau diri sendiri?

Kesimpulan Pedas

Pertemuan itu bukan sekadar salah langkah. Itu tamparan balik yang mengungkap: ketika politisi lebih sibuk dengan citra, mereka rela mencetak rakyat palsu. Yang hilang bukan hanya kepercayaan, tapi juga rasa hormat.

Karena rakyat bisa menerima pemimpin yang jujur meski sederhana, tapi muak pada pemimpin yang berpura-pura mendengar sambil memoles kamera.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here