Jakarta – Pertemuan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka dengan sekelompok orang berjaket hijau di Istana Wapres berubah jadi bahan tertawaan publik. Alih-alih menghadirkan suara asli pengemudi ojek online, yang muncul justru rombongan ojol KW—rapi, jaket kinclong, sepatu mahal—lebih mirip peserta seminar motivasi ketimbang pekerja jalanan yang setiap hari dihajar macet dan polusi.
Asosiasi resmi pengemudi, Garda Indonesia, bahkan langsung pasang sikap: “Itu bukan orang kami, nama kami dicatut demi pencitraan murahan.”
Singkatnya: anggota palsu dipertemukan dengan pejabat asli, demi foto yang terlihat manis.
Ironi yang Menyakitkan
Duka Jadi Properti
Affan Kurniawan, pengemudi yang tewas saat aksi, dijadikan latar belakang pertemuan. Tapi bukannya menyelesaikan problem nyata—keselamatan, tarif minim, perlindungan hukum—yang hadir malah teatrikal. Empati dikonversi jadi konten.Bahasa yang Asing
Salah satu peserta menyebut dirinya “taruna”—istilah yang asing di dunia ojol. Netizen pun langsung mencap mereka: “ojol jadi-jadian.”Substansi Tertinggal
Tidak ada janji konkret, tidak ada agenda serius, tidak ada solusi. Yang ada hanya narasi bahwa sang Wapres “dekat dengan rakyat.”
Citra vs Realita
Di dunia nyata, driver ojol sedang jungkir balik: tarif makin kecil, order makin seret, resiko kecelakaan makin tinggi.
Di dunia istana, driver ojol tampil bagai model katalog: wajah bersih, jaket kinclong, sepatu branded.
Kontras ini begitu telanjang. Inilah teater politik, bukan dialog publik.
Pertanyaan yang Harus Dilempar
Apakah Gibran memang tidak tahu mereka “ojol KW”, atau pura-pura tidak peduli selama kamera merekam?
Apakah duka rakyat hanya dianggap dekorasi untuk panggung pencitraan?
Dan kalau semua hanya gimmick, siapa sebenarnya yang mereka tipu—publik, atau diri sendiri?
Kesimpulan Pedas
Pertemuan itu bukan sekadar salah langkah. Itu tamparan balik yang mengungkap: ketika politisi lebih sibuk dengan citra, mereka rela mencetak rakyat palsu. Yang hilang bukan hanya kepercayaan, tapi juga rasa hormat.
Karena rakyat bisa menerima pemimpin yang jujur meski sederhana, tapi muak pada pemimpin yang berpura-pura mendengar sambil memoles kamera.