Jakarta – Demo menentang pajak yang semakin keras, harga-harga yang terus naik, dan subsidi yang makin berkurang bukanlah sekadar masalah “kebijakan baru” di era Prabowo. Jika ditarik ke akar persoalan, beban itu sesungguhnya adalah warisan utang besar-besaran di era Jokowi, yang kini harus dibayar mahal oleh rakyat.
Utang Meningkat, APBN Menyempit
Selama dua periode pemerintahan Jokowi, utang melonjak dari Rp4.778 triliun (2019) menjadi Rp8.144 triliun (2024). Rasio terhadap PDB memang masih dianggap “aman”, tetapi kenyataannya APBN menjadi sempit.
Mengapa? Karena sebagian besar utang dipakai untuk proyek infrastruktur padat modal—jalan tol, bandara, kereta cepat Jakarta–Bandung, hingga smelter nikel. Proyek-proyek ini membutuhkan biaya besar, tetapi tidak langsung menghasilkan uang untuk negara. Sementara cicilan utang dan bunganya tetap berjalan, dengan pembayaran bunga tahunan lebih dari Rp500 triliun.
Kereta Cepat Beban Fiskal
Proyek Kereta Cepat Jakarta–Bandung awalnya dijanjikan tanpa dana APBN. Faktanya, pembengkakan biaya membuat pemerintah harus menyuntikkan modal lewat PMN ke PT KAI, hingga tambahan utang USD 448 juta atau Rp6,7 triliun.
Artinya, setiap rupiah yang seharusnya bisa dipakai untuk BPJS Kesehatan, subsidi pupuk, atau bantuan sosial, kini terpaksa dialihkan untuk proyek yang tiketnya pun tidak bisa dijangkau mayoritas rakyat.
Hilirisasi Nikel: Janji Besar, Beban Nyata
Proyek smelter nikel yang dibiayai Tiongkok juga menyedot fiskal secara tidak langsung. Pemerintah memberi tax holiday hingga 20 tahun, membebaskan bea masuk, bahkan mensubsidi listrik.
Akibatnya, penerimaan negara dari pajak tertunda, sementara beban sosial dan lingkungan ditanggung rakyat.
Utang Tersembunyi dan Risiko Bailout
Laporan AidData memperingatkan adanya utang tersembunyi ke Tiongkok Rp247 triliun akibat pinjaman lewat BUMN. Jika BUMN gagal bayar, APBN wajib menanggungnya.
Kita sudah melihat preseden: bail-out Jiwasraya Rp22 triliun, Asabri Rp54 triliun. Jangan kaget jika ke depan skema serupa terulang untuk proyek infrastruktur.
Rakyat Menanggung Pajak dan Tarif
Di sinilah masalah paling nyata. Untuk menutup ruang fiskal yang sempit, pemerintah lewat Menteri Keuangan Sri Mulyani semakin galak mengejar pajak.
PPN naik jadi 11%, dengan rencana 12%.
Pajak digital merambah UMKM dan konsumen online.
Subsidi listrik, BBM, dan pupuk terus dikurangi.
Hasilnya? Harga naik, pajak bertambah, rakyat makin tertekan. Infrastruktur yang dibangun dari utang pun tidak bisa dinikmati secara adil, karena sebagian besar berbayar mahal: tol, listrik, hingga kereta cepat.
Bom Waktu Menumbalkan Rakyat
Utang besar yang dibangun di era Jokowi kini menjadi bom waktu fiskal di era Prabowo. Pemerintah harus membayar cicilan, menyuntikkan BUMN, dan tetap memenuhi janji politik baru seperti makan siang gratis. Pilihan yang tersisa hanya dua: berutang lagi, atau memeras rakyat lewat pajak dan tarif. Apapun pilihannya, rakyatlah yang menjadi korban.
Jadi, ketika rakyat mengeluh soal pajak naik atau harga makin mencekik, jangan buru-buru menyalahkan kebijakan hari ini. Akar persoalannya adalah utang masa lalu yang dibangun tanpa perhitungan matang, tapi diwariskan sebagai beban kepada generasi sekarang dan mendatang.