Jakarta – Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dinilai berada dalam tekanan berat akibat tingginya beban utang, kebocoran subsidi, dan praktik fiskal yang menguntungkan kelompok oligarki sumber daya alam (SDA). Analis menilai, pemerintahan Presiden Prabowo Subianto harus segera mengambil langkah berani untuk menyelamatkan fiskal negara.
Pajak Bocor, Oligarki Aman
Kebocoran penerimaan pajak diperkirakan mencapai Rp200–300 triliun per tahun. Sektor digital, ekonomi informal, dan industri tambang disebut paling banyak lolos dari kewajiban. Pemberian tax holiday kepada smelter serta rendahnya royalti nikel dan batu bara dinilai sebagai bentuk “surga fiskal” bagi korporasi besar.
“Selama kebocoran pajak tidak ditutup, APBN akan terus tercekik dan rakyat tetap menjadi penanggung utama melalui pajak konsumsi,” kata seorang analis fiskal.
Subsidi Salah Sasaran
Belanja negara juga dikritik tidak tepat sasaran. Subsidi BBM dan listrik masih lebih banyak dinikmati kelompok mampu. Proyek-proyek mercusuar, mulai dari kereta cepat, bandara baru, hingga pembangunan smelter dengan kapasitas berlebih, dinilai hanya menambah beban utang tanpa manfaat nyata.
Selain itu, belanja pegawai dan pensiun negara yang mencapai sekitar Rp500 triliun per tahun dianggap menyedot ruang fiskal yang semakin terbatas. “Efisiensi birokrasi bukan opsi, tetapi keharusan. APBN bukan ATM tanpa batas,” ujar pengamat ekonomi publik.
Utang Harus Produktif
Pengelolaan utang juga menjadi sorotan. Setiap pinjaman baru diminta hanya digunakan untuk proyek produktif seperti pelabuhan, energi, atau kawasan industri. Pemerintah juga didorong melakukan debt reprofiling dengan kreditur asing, termasuk Tiongkok, agar beban bunga bisa ditekan.
“Tidak boleh lagi ada praktik gali lubang tutup lubang. Utang harus jelas manfaatnya bagi ekonomi nasional,” tegas seorang pengamat ekonomi politik.
Keberanian Politik Kunci Reformasi
Namun, berbagai strategi teknis dianggap tidak akan efektif tanpa keberanian politik dari presiden. Selama ini, oligarki SDA dinilai nyaman menikmati berbagai insentif fiskal dan subsidi energi, sementara rakyat menanggung pajak konsumsi dan kenaikan harga.
“Prabowo harus berani menantang oligarki. Ini bukan soal popularitas, melainkan soal keadilan fiskal,” kata seorang analis kebijakan publik. Transparansi komunikasi dengan masyarakat disebut penting agar publik memahami siapa yang seharusnya menanggung beban negara.
Reformasi Tak Bisa Ditunda
Para analis menekankan, tanpa reformasi pajak, efisiensi belanja, dan pengelolaan utang produktif, APBN berisiko hanya habis untuk membayar bunga utang dan gaji ASN. Kondisi ini disebut sebagai “bom waktu fiskal” yang bisa menghambat pembangunan jangka panjang.
“Jika tidak ada tindakan tegas, rakyat akan terus menjadi korban, sementara oligarki menikmati surga fiskal tanpa batas. Saatnya pemimpin berkata: cukup sudah, rakyat bukan ATM,” pungkas analis tersebut.