Jakarta – Gelombang unjuk rasa akhir Agustus menjadi alarm dini. Demo 25 Agustus berlangsung spontan tanpa motor utama mahasiswa, namun 28 Agustus — dengan kehadiran Partai Buruh — lebih terorganisir. Sumber kepolisian mengaku, “Kami mendeteksi ada dukungan logistik dari jaringan lama. Polanya mirip 2019, tapi lebih halus.”
Prabowo disebut menolak opsi represif. Ia memilih taktik protokol de-eskalasi: negosiasi tiga lapis, dokumentasi bodycam, hingga buffer zone untuk mencegah bentrokan. “Kalau satu peluru gas air mata ditembakkan, framing bisa berubah total. Lawan menunggu itu,” kata seorang pejabat intelijen.
Jokowi Masih Mengatur
Meski resmi lengser, pengaruh Jokowi belum hilang. Di tubuh birokrasi, loyalisnya masih bercokol. Bahkan, beberapa keputusan kabinet disebut terpengaruh lobi dari lingkaran dekat mantan presiden itu.
“Jangan salah, istana lama masih hidup. Mereka menguji seberapa kuat Prabowo mengendalikan mesin negara,” ujar seorang mantan pejabat senior yang kini aktif sebagai konsultan politik.
Situasi ini diperumit oleh posisi Gibran Rakabuming Raka sebagai wakil presiden. Kunjungan-kunjungan populis Gibran ke pasar rakyat mulai dikemas sebagai “poros alternatif.”
Menurut seorang sumber dari DPR, ada tiga skenario yang sedang dimainkan: pertama, melemahkan Prabowo lewat tekanan jalanan; kedua, mendorong kebijakan tak populer agar publik kecewa; dan ketiga, membangun citra Gibran sebagai penyelamat di balik layar.
Senjata Utama: Perampasan Aset
Untuk melawan narasi bahwa pemerintah hanyalah kelanjutan oligarki lama, Prabowo menyiapkan kartu truf: RUU Perampasan Aset Koruptor.
Sumber internal menyebut, draft naskah akademik sudah masuk tahap final. Targetnya, rancangan itu bisa masuk pembahasan prioritas sebelum setahun. “Publik harus melihat ada kepala besar yang jatuh, dan uang koruptor kembali ke rakyat,” kata seorang anggota tim hukum istana.
Tak hanya itu, pemerintah juga tengah menyiapkan sistem whistleblower dengan insentif finansial dan perlindungan identitas. “Kalau jalan, ini bisa jadi game changer,” ujar seorang akademisi hukum.
Risiko Blunder Internal
Namun tantangan justru datang dari dalam kabinet. Komentar arogan beberapa pejabat di media sosial memicu kemarahan publik. “Komunikasi publik adalah medan perang. Sekali salah bicara, habis sudah,” kata seorang konsultan komunikasi.
Strategi terbaru: Presiden hanya akan tampil pada momen besar, sementara tiga teknokrat dipoles sebagai juru bicara rutin. Bahkan, reshuffle ringan sudah mulai dibicarakan — dua menteri yang dianggap toksik disiapkan untuk diganti dengan figur teknokrat.
Operasi Senyap
Di balik layar, tim intelijen membentuk fusion cell: gabungan BIN, Baintelkam, BAIS, dan PPATK. Tugasnya mendeteksi dini aliran dana aksi dan skenario infiltrasi kebijakan.
Selain itu, rotasi eselon satu juga mulai digodok. “Kami butuh birokrasi yang loyal pada negara, bukan pada figur,” tegas seorang pejabat tinggi di Kementerian Dalam Negeri.
Tiga Indikator
Sejumlah analis menilai, sukses atau gagalnya Prabowo setahun pertama akan terlihat dari tiga indikator sederhana:
Harga & biaya hidup – apakah ada bukti nyata pemerintah menurunkan beban rakyat.
RUU Perampasan Aset – apakah benar-benar bergerak, atau sekadar gimmick politik.
Aksi Massa – apakah mereda menjadi dialogis, atau justru eskalatif.
“Kalau tiga ini bisa dicapai, legitimasi Prabowo akan berdiri di atas fondasi baru, bukan sekadar warisan Jokowi,” ujar seorang analis senior di bidang keamanan.
Pertarungan Senyap
Hari-hari ini, publik hanya melihat potongan kecil dari panggung besar. Yang tak terlihat jauh lebih menentukan: rapat-rapat larut malam, mutasi birokrasi, hingga perang senyap di dunia maya.
Dalam satu tahu pertama, Prabowo bukan hanya diuji sebagai presiden, tapi sebagai manajer krisis. Pertanyaannya, apakah ia mampu membalik tekanan menjadi momentum, atau terjebak menjadi presiden yang sekadar “menjaga kursi” sampai poros lain siap mengambil alih.