Become a member

Get the best offers and updates relating to Liberty Case News.

― Advertisement ―

spot_img

Dedi Mulyadi, Cermin Pemimpin Amanah yang Membumi

Dalam hiruk-pikuk panggung politik Indonesia, sosok Dedi Mulyadi kerap tampil berbeda—baik dalam gaya, pendekatan, maupun nilai yang ia perjuangkan. Ketika banyak pemimpin tampil elitis...
HomeNewsPolri di Persimpangan: Antara Kambing Hitam dan Penjaga Supremasi Sipil

Polri di Persimpangan: Antara Kambing Hitam dan Penjaga Supremasi Sipil

Jakarta – Gelombang demonstrasi yang awalnya digerakkan oleh mahasiswa dan buruh, kini berubah wajah. Setelah para aktor murni itu membubarkan diri, muncul arus baru: kerusuhan yang menyasar simbol negara dan aparat. Di sinilah letak persoalan: aksi yang semula spontan berubah menjadi pola yang tampak “by design”.

Polisi Sebagai Common Enemy

Dalam setiap eskalasi konflik, selalu ada pihak yang dijadikan musuh bersama. Kali ini, polisi menempati posisi itu. Kasus Afan — seorang driver ojol yang ditabrak rantis polisi — menjadi pemicu emosional. Dari sana, framing berkembang: polisi bukan sekadar aparat, tetapi simbol penindasan.

Namun, anehnya, saat situasi makin panas, terlihat adanya pola yang janggal. Ada massa dengan peralatan yang tak lazim untuk demo: alat las, kembang api berdaya ledak, dan strategi penyerangan terukur. Semua itu menimbulkan pertanyaan besar: apakah kerusuhan ini murni, atau ada rekayasa intelijen dan kepentingan politik di balik layar?

Titik Terendah Polisi

Polisi sebenarnya pernah berdiri di titik tertinggi: simbol keamanan sipil pasca-Orde Baru. Namun kini, mereka berada di titik terendah.
Mengapa? Karena peran mereka dipersempit oleh Presiden: bukan lagi penjaga hukum netral, tetapi alat politik untuk mengawal investasi.

Dari Rempang, Wadas, Kulon Progo, hingga proyek strategis lain, polisi kerap dikerahkan bukan untuk melindungi rakyat, melainkan memastikan modal asing dan investor tidak terganggu. Polri yang seharusnya menjadi penjaga rakyat, justru tampil sebagai wajah keras kapitalisme negara.

Inilah ironi terbesar: saat polisi dipermak menjadi tameng investasi, mereka kehilangan legitimasi sosial. Di mata publik, polisi tidak lagi netral, melainkan pelayan kepentingan politik dan ekonomi. Dan ketika situasi memanas, mereka pun dengan mudah dijadikan kambing hitam.

Polisi di Posisi “Bebek Lumpuh”

Polisi sebenarnya punya dasar hukum untuk bertindak lebih keras: peluru karet, bahkan peluru tajam. Tapi mereka menahan diri. Seolah tahu, jebakan sudah disiapkan: sekali salah langkah, satu korban jiwa bisa berubah menjadi martir, pemicu “98 jilid 2”.
Mereka kini berada di posisi serba salah: jika diam, dianggap lemah; jika bertindak, diframing represif.

Serangan ke Simbol Sipil

Yang lebih mengkhawatirkan: target serangan bukan sekadar aparat, tetapi simbol supremasi sipil — DPRD, kantor pemerintahan, dan lembaga sipil lainnya. Kita ingat, setelah Reformasi 1998, perjuangan besar bangsa ini adalah menegakkan supremasi sipil, menyingkirkan dominasi militerisme.
Jika simbol sipil kini dirusak, celah besar terbuka: kembali pada logika lama, di mana keamanan hanya bisa dijaga dengan tangan besi militer.

Risiko yang Mengintai

  1. Polisi jadi kambing hitam permanen.

  2. Eskalasi sosial meluas, mengulang skenario 1998.

Jalan Keluar: Politik Nyata, Bukan Seremonial

Presiden tidak bisa lagi hanya menonton atau hadir dengan simbol-simbol seremonial. Harus ada langkah politik nyata: potong gaji pejabat, gratiskan layanan sekolah dan kesehatan, tunjukkan empati publik yang konkret. Itu akan jadi pendingin sosial yang jauh lebih efektif dibanding seribu pidato.

Polisi juga harus segera menyelesaikan kasus Afan secara transparan, agar tidak menjadi martir yang dipelihara untuk propaganda. Komunikasi publik harus dikuatkan, agar polisi dipahami bukan sebagai musuh rakyat, tapi pelindungnya.

Kerusuhan ini bukan sekadar letupan emosional, tetapi cerminan perang politik dan intelijen. Polisi didorong ke posisi paling rawan: menjadi kambing hitam sekaligus sasaran serangan.
Jika tidak ada langkah politik besar, bangsa ini berisiko masuk ke siklus lama: runtuhnya simbol sipil dan kembalinya militerisme.

Karena itu, tagline yang paling tepat untuk situasi hari ini adalah:
“Ini bukan sekadar demo, tapi operasi rekayasa. Polisi dijadikan kambing hitam, simbol sipil dihancurkan. Solusi ada di tangan Presiden: politik nyata, bukan seremonial.”

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here