Jakarta,- Kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2) yang kini ramai di berbagai daerah, termasuk Jombang, bukanlah “ilham mendadak” pemerintah daerah.
Akar hukumnya ada di produk regulasi era Presiden Joko Widodo:
Regulasi | Tanggal Terbit | Isi Pokok |
---|---|---|
UU No. 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (HKPD) | 5 Januari 2022 | Menyatukan berbagai aturan pajak daerah, menetapkan jenis pajak yang boleh dipungut daerah, memberi batas tarif, dan memerintahkan penyesuaian Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) secara berkala agar sesuai harga pasar. |
PP No. 35 Tahun 2023 tentang Ketentuan Umum Pajak Daerah dan Retribusi Daerah | 6 Juli 2023 | Mengatur teknis pelaksanaan UU No. 1/2022: cara menentukan NJOP, klasifikasi tarif, batas bawah–atas pajak, penyesuaian tiap tahun, dan sanksi bagi kepala daerah yang tidak mengikuti evaluasi pemerintah pusat. |
Catatan: Kedua regulasi ini bersifat memaksa untuk seluruh kabupaten/kota. Artinya, Pemda wajib menyesuaikan Perda mereka agar sesuai. Tidak menyesuaikan = melanggar hukum.
2. Bagaimana Aturan Pusat Mendorong Kenaikan PBB
UU dan PP tersebut mengandung dua “trigger” utama kenaikan PBB di lapangan:
Penyesuaian NJOP ke harga pasar
Pasal 99 UU 1/2022 dan Pasal 128 PP 35/2023 memerintahkan NJOP diperbarui secara berkala berdasarkan nilai pasar terkini.
Di banyak daerah, NJOP terakhir belum pernah disesuaikan bertahun-tahun. Begitu disesuaikan ke harga pasar, lonjakannya bisa ratusan persen.
Batas tarif diperlonggar
UU dan PP menetapkan tarif maksimum PBB-P2 sampai 0,3% dari NJOP (sebelumnya di beberapa daerah tarif efektif jauh lebih rendah).
Daerah yang memilih menaikkan tarif mendekati batas maksimum otomatis menghasilkan SPPT dengan nilai lebih tinggi.
3. Eksekusi di Daerah
Pemerintah daerah, seperti Jombang, menindaklanjuti dengan membuat Peraturan Daerah baru (contoh: Perda No. 13 Tahun 2023 di Jombang).
Perda ini menjadi “kendaraan hukum” untuk menerapkan NJOP baru dan tarif sesuai batas pusat.
Lonjakan pajak terjadi karena:
NJOP lama terlalu rendah → begitu disesuaikan langsung melesat.
Tarif mendekati batas maksimum.
Tidak ada skema transisi atau kenaikan bertahap.
4. Kenapa Masyarakat Merasa Terkejut
Sosialisasi minim
Banyak warga baru tahu saat menerima SPPT dengan angka melonjak hingga 400%, 800%, bahkan >1.000%.Dampak langsung ke ekonomi rumah tangga
PBB yang awalnya ratusan ribu berubah jadi jutaan, tanpa peningkatan pendapatan warga.Tidak ada masa penyesuaian
UU dan PP memang tidak memerintahkan masa transisi wajib, sehingga Pemda bisa langsung menerapkan tarif penuh.
5. Tanggung Jawab: Pusat vs Daerah
Pemerintah Pusat (Era Jokowi)
Merumuskan dan mengesahkan UU No. 1/2022 serta PP No. 35/2023.
Menetapkan kewajiban penyesuaian NJOP dan tarif.
Mengatur sanksi bagi kepala daerah yang tidak patuh.
Pemerintah Daerah
Menetapkan besaran tarif di Perda (dalam rentang yang diizinkan pusat).
Mengatur teknis pemungutan.
Memilih apakah kenaikan dilakukan bertahap atau sekaligus (banyak yang memilih sekaligus).
6. Kasus Jombang sebagai Contoh
Perda No. 13 Tahun 2023 lahir sebagai tindak lanjut UU 1/2022 dan PP 35/2023.
Ada objek pajak yang naik:
Dari Rp 96 ribu → Rp 1,1 juta (+1.202%).
Dari Rp 292 ribu → Rp 2,3 juta (+791%).
Warga protes, bahkan membayar pajak dengan uang receh.
Pemkab akhirnya membuka mekanisme keberatan dan memberi pengurangan, plus revisi Perda agar tarif lebih berlapis.
Kesimpulan Tajam
a. Kondisi Utang dan Defisit Era Jokowi
Utang Pemerintah Pusat meningkat signifikan dalam 10 tahun terakhir. Per akhir 2024, posisinya sekitar Rp 8.000+ triliun (±39% dari PDB).
Defisit APBN sempat melonjak saat pandemi (2020–2022) hingga di atas 6% PDB, lalu turun ke kisaran 2–3% di 2023–2024.
Tekanan pembayaran bunga utang juga meningkat, yang berarti ruang fiskal untuk belanja publik makin ketat.
b. Kaitan dengan UU No. 1/2022
UU HKPD (No. 1 Tahun 2022) dan PP 35/2023 dirancang untuk memperluas basis pajak daerah dan mengoptimalkan pendapatan asli daerah (PAD).
Logika fiskalnya: kalau daerah punya PAD tinggi, transfer dari pusat (DAU, DAK) bisa ditekan atau dialokasikan ke prioritas lain di APBN.
Ini sejalan dengan kebijakan fiskal “sharing the burden” antara pusat dan daerah.
c. Dugaan Tujuan Tersembunyi
Walaupun secara resmi pemerintah menyebut alasan penyesuaian PBB adalah “penyelarasan NJOP dengan harga pasar” dan “standarisasi aturan pajak”, publik bisa melihatnya juga sebagai:
Cara meningkatkan penerimaan negara secara tidak langsung melalui optimalisasi PAD.
Strategi untuk mengurangi beban APBN di tengah kewajiban bayar bunga utang yang besar.
“Memindahkan” sebagian beban fiskal ke pemerintah daerah dan akhirnya ke masyarakat.
d. Poin Kritis
Tidak ada dokumen resmi pemerintah yang terang-terangan menyebut kenaikan PBB sebagai solusi defisit akibat utang.
Tapi hubungan antara kebijakan fiskal nasional (mengamankan pendapatan) dan dorongan menaikkan pajak daerah sangat mungkin ada, mengingat UU dan PP ini memang dibuat di tengah kondisi fiskal yang menantang.
Kisruh kenaikan PBB di berbagai daerah, termasuk Jombang, berakar pada regulasi nasional yang lahir di era Presiden Jokowi—yaitu UU No. 1 Tahun 2022 dan PP No. 35 Tahun 2023.
Regulasi ini mewajibkan daerah menyesuaikan NJOP ke harga pasar dan memberi ruang tarif lebih tinggi.
Ketika Pemda menerapkannya secara langsung tanpa transisi memadai, hasilnya adalah lonjakan PBB yang mengejutkan masyarakat.