Singapura — Di tengah langit Asia Tenggara yang biasanya tenang, bayang-bayang perlombaan senjata mulai terasa. Kekhawatiran itu diungkapkan analis pertahanan asal Singapura, Ridzwan Rahmat, setelah Indonesia mengerahkan sistem rudal taktis jarak menengah KHAN buatan Turki.
Selama ini, Singapura dikenal memiliki teknologi militer unggul di kawasan, sementara Indonesia kerap dianggap lamban dalam modernisasi alutsista. Namun, kehadiran KHAN mengubah pandangan tersebut. Dengan jangkauan ±280 kilometer dan presisi tinggi, rudal ini bukan sekadar simbol kekuatan, tetapi juga sinyal bahwa Indonesia mulai beralih dari strategi pertahanan pasif menjadi kemampuan serang proaktif.
“Pengadaan sistem seperti KHAN bisa memicu negara tetangga untuk menyeimbangkan kekuatan,” kata Ridzwan. Ia khawatir langkah ini menjadi pemicu domino effect yang mengubah stabilitas kawasan.
Keresahan Singapura bukan tanpa alasan. Jika KHAN ditempatkan di titik strategis seperti Natuna, Batam, atau Kalimantan Utara, Indonesia secara teoritis dapat menjangkau wilayah udara dan laut negara tetangga sebelum kontak langsung terjadi. Ditambah integrasi dengan radar jarak jauh dan sistem pertahanan udara modern, kemampuan ini menciptakan “lapisan serangan dan pertahanan” yang membuat pihak lawan berpikir dua kali sebelum mengambil langkah agresif.
Bagi Singapura, yang selama ini mengandalkan first strike capability, ini adalah kejutan strategis. Posisi tawar mereka berpotensi berkurang jika Indonesia memiliki opsi balasan cepat dan presisi.
Di satu sisi, penguatan alutsista adalah hak setiap negara untuk melindungi kedaulatannya. Namun di sisi lain, langkah ini memancing pertanyaan besar: apakah Asia Tenggara siap menghadapi era baru di mana keseimbangan kekuatan bisa bergeser hanya dengan satu peluncuran rudal?