Jakarta — Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), Nusron Wahid, akhirnya memberikan klarifikasi atas pernyataan yang sempat menuai kontroversi dan perdebatan publik. Ucapannya yang menyebut “semua tanah milik negara, rakyat hanya mengelola” memicu respons keras di media sosial dan menimbulkan kekhawatiran akan nasib hak kepemilikan tanah masyarakat.
Hak Rakyat Tetap Terlindungi
Nusron mengakui bahwa penyampaian tersebut menimbulkan kesalahpahaman. Ia menegaskan, dalam sistem hukum agraria Indonesia, rakyat tetap menjadi pemilik sah tanah, sementara negara hanya berperan sebagai pengatur hubungan hukum antara rakyat dan tanah, sesuai dengan amanat Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) Nomor 5 Tahun 1960.
“Rakyat adalah pemilik tanah, dan sertifikat tanah merupakan bukti hukum kepemilikan tersebut. Negara tidak mengambil hak itu, negara hanya mengatur untuk memastikan semua berjalan sesuai hukum,” ujar Nusron dalam keterangan pers, Selasa (12/8).
Menurut Nusron, konsep yang diatur UUPA menempatkan negara sebagai pihak yang menguasai bumi, air, dan ruang angkasa beserta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, namun bukan sebagai pemilik absolut. Penguasaan negara dimaksudkan untuk mengatur penggunaan dan peruntukan tanah demi kemakmuran rakyat, bukan untuk mencabut hak kepemilikan yang sah.
Ia juga menyampaikan permintaan maaf kepada masyarakat atas simpang siur informasi yang muncul akibat potongan pernyataannya. “Saya mohon maaf jika penyampaian saya menimbulkan persepsi keliru. Hak rakyat atas tanah tetap diakui dan dilindungi. Tidak ada niat sedikit pun untuk menurunkan status kepemilikan menjadi sekadar pengelolaan,” tegasnya.
Kontroversi ini mencuat di tengah sensitifnya isu pertanahan di Indonesia, mulai dari konflik lahan, sengketa tanah adat, hingga perdebatan soal reforma agraria. Pernyataan pejabat tinggi negara yang dianggap tidak presisi berpotensi memicu kegelisahan, terutama di daerah yang sering bersinggungan dengan proyek strategis nasional.
Sejumlah pakar hukum agraria menilai klarifikasi ini penting untuk meredam kegaduhan, namun mereka mengingatkan pemerintah agar lebih berhati-hati dalam menyampaikan terminologi hukum kepada publik. “Istilah ‘menguasai’ dan ‘memiliki’ dalam konteks agraria sangat berbeda. Salah penyampaian bisa memicu gejolak,” ujar salah satu pakar.
Dengan klarifikasi ini, Nusron berharap masyarakat kembali memahami bahwa sistem pertanahan nasional tetap menjamin kepemilikan individu, sambil menjaga peran negara sebagai pengatur untuk mencegah penyalahgunaan dan ketimpangan penguasaan lahan.