Redaksi Berita Indonesia News
Di awal masa kepemimpinannya, Presiden Joko Widodo hadir dengan aura segar: pemimpin dari luar lingkaran elite, membawa harapan baru bagi demokrasi dan pembangunan. Dua periode menjabat adalah kesempatan langka untuk meninggalkan jejak sejarah yang harum. Sayangnya, menjelang akhir masa jabatan, banyak peluang emas itu justru ternoda oleh keputusan dan langkah politik yang bertolak belakang dengan janji awal.
1. Infrastruktur dan Hilirisasi: Dari Kebanggaan ke Beban
Tidak bisa dipungkiri, pembangunan infrastruktur di era Jokowi masif. Jalan tol, pelabuhan, bendungan, hingga hilirisasi tambang menjadi kebijakan strategis yang digadang-gadang akan membawa Indonesia melompat maju.
Namun, di ujung periode, kebijakan ini dibayangi utang menggunung dan efektivitas yang dipertanyakan. Ibu Kota Nusantara (IKN) menjadi contoh paling jelas: proyek ambisius yang justru membebani APBN, memicu kekhawatiran soal transparansi, dan belum meyakinkan publik akan manfaat jangka panjangnya. Infrastruktur yang seharusnya menjadi simbol keberhasilan, justru berisiko tercatat sebagai proyek mewah yang tak selesai dinikmati rakyat.
2. Anti-Oligarki yang Berbalik Menguatkan Oligarki
Jokowi memulai karier nasional dengan citra anti-oligarki. Namun, realitas politik menunjukkan hal sebaliknya. UU Minerba, Omnibus Law Cipta Kerja, dan kebijakan pembagian izin tambang ke ormas dianggap memperkuat cengkeraman kelompok elite.
Yang paling mencoreng adalah lahirnya dinasti politik. Anak-anak dan menantu Jokowi kini berada di jabatan strategis — Gibran sebagai Wakil Presiden terpilih, Kaesang memimpin partai politik, Bobby menjadi Wali Kota Medan — menggiring persepsi bahwa Jokowi tak lagi sekadar presiden, tetapi kepala keluarga politik.
3. Kebijakan Haji: Hadiah Raja Salman yang Jadi Skandal
Salah satu peluang langka untuk meninggalkan warisan positif adalah keberhasilan diplomasi Jokowi saat mendapatkan tambahan kuota haji dari Raja Salman. Kebijakan ini semestinya menjadi simbol keberpihakan negara pada umat Islam, mempersingkat antrean jamaah, dan memperluas kesempatan beribadah ke tanah suci.
Namun, peluang ini ternoda oleh dugaan penyimpangan distribusi kuota. Laporan investigasi mengungkap adanya praktik penjualan kuota, alokasi yang tidak tepat sasaran, bahkan indikasi keterlibatan lingkar kekuasaan. Dugaan kuat peran Jokowi dalam membiarkan — atau bahkan ikut mengatur — skema distribusi yang tidak transparan ini, menjadi pukulan telak bagi citra religius dan keadilan sosial yang kerap ia tampilkan di panggung politik.
4. Pelemahan Institusi dan Demokrasi
Salah satu peluang terbesar Jokowi untuk dikenang harum adalah memperkuat institusi demokrasi. Sebaliknya, publik justru menyaksikan pelemahan KPK, manuver kontroversial di Mahkamah Konstitusi, dan dominasi eksekutif atas legislatif.
Demokrasi yang semestinya diperkokoh malah dibiarkan merosot. Pengangkatan dan perpanjangan jabatan hakim konstitusi yang sarat konflik kepentingan menjadi catatan kelam yang tak bisa dihapus begitu saja dari sejarah.
5. Kebijakan Pendidikan yang Minim Kontrol
Kenaikan tunjangan dosen dan deregulasi sertifikasi akademik adalah kebijakan yang seharusnya memperkuat kualitas pendidikan tinggi. Namun, lemahnya kontrol membuat peluang ini rentan disalahgunakan — mulai dari maraknya perjokian karya ilmiah hingga gelar profesor yang diberikan tanpa standar akademik ketat.
6. Kabinet dengan Rekor Korupsi: Pukulan bagi Citra Bersih Jokowi
Di awal pemerintahan, Jokowi menjual citra “bersih” dan anti-korupsi sebagai modal legitimasi. Namun, fakta di lapangan menunjukkan hal sebaliknya. Sejumlah menterinya justru terjerat kasus korupsi besar, menjadi tamparan keras bagi narasi pemerintahan bersih.
Kesimpulan Redaksi
Sejarah tidak hanya menilai capaian, tetapi juga konsistensi. Jokowi punya peluang untuk dikenang sebagai presiden yang membangun infrastruktur, memperkuat demokrasi, mengamankan kuota haji bagi umat, dan memajukan pendidikan. Namun, warisan ini tercoreng oleh langkah-langkah yang memperkuat oligarki, membebani keuangan negara, melemahkan institusi hukum, membuka pintu bagi dinasti politik, serta membiarkan kuota haji yang didapat dengan susah payah dari Raja Salman berubah menjadi ladang bisnis.
Redaksi Berita Indonesia menilai, di penghujung masa jabatan, nama Jokowi justru menghadapi risiko diingat bukan sebagai “Bapak Pembangunan Era Baru”, melainkan sebagai presiden yang merusak hukum tatanan berbangsa bernegara.