Jakarta – Pengamat politik Rocky Gerung menilai keputusan Presiden Prabowo Subianto memberi amnesti dan abolisi kepada Tom Lembong dan Hasto Kristiyanto sebagai langkah politik yang berani, strategis, dan sarat makna etis. Dalam dialognya bersama Hersubeno Arief, Rocky menyebut keputusan tersebut bukan sekadar pengampunan, tapi merupakan upaya memulihkan moralitas demokrasi yang sempat tercemar oleh dendam politik rezim sebelumnya.
Langkah Kontroversial tapi Konstitusional
Rocky menjelaskan bahwa meskipun keputusan Prabowo menuai kontroversi, hal itu merupakan hak konstitusional presiden. Ia menegaskan, “Pemberian amnesti dan abolisi akan selalu menimbulkan kontroversi karena ia menghapus pidana yang semestinya menjadi domain hukum. Namun, keputusan ini adalah bentuk pemisahan antara politik dan hukum.”
Menurutnya, kasus Hasto dan Tom tidak bisa dilihat sekadar sebagai perkara korupsi, melainkan sebagai produk kriminalisasi politik di era Jokowi. “Kalau dilihat secara jujur, ini bukan soal hukum, tapi rekayasa politik,” kata Rocky.
Koreksi terhadap Warisan Jokowi
Rocky menilai, pemberian amnesti dan abolisi kepada dua tokoh yang berseberangan dengan Jokowi adalah sinyal bahwa Prabowo tidak melanjutkan praktik dendam politik. Ia bahkan menyebut keputusan ini sebagai “koreksi politik terhadap warisan Jokowi”.
“Hasto itu dihukum bukan karena kejahatan, tapi karena keberaniannya mengkritik Jokowi dan menghentikan dinasti Jokowi dari dalam PDIP sendiri,” ujar Rocky. Ia juga menyebut Tom Lembong sebagai korban dari kebijakan politik yang inkonsisten selama pemerintahan Jokowi.
Isyarat Jarak Prabowo dari Jokowi
Dalam pernyataannya, Rocky juga menyoroti pergeseran relasi kekuasaan antara Prabowo, Megawati, dan Jokowi. Ia menyebut keputusan amnesti ini sebagai tanda bahwa Prabowo mulai mengambil jarak dari Jokowi dan mendekat ke Megawati.
“Kalau Prabowo memilih bersahabat dengan Ibu Mega, itu berarti mengambil jarak dari Jokowi. Begitu juga sebaliknya. Politiknya jelas: the enemy of my enemy is my friend,” ujar Rocky.
Serangan Buzzer Jokowi dan Politik Dinasti
Rocky juga mencermati gelombang kritik dari para buzzer pro-Jokowi terhadap keputusan Prabowo. Ia menilai hal ini sebagai bukti bahwa faksi politik Jokowi sedang panik karena merasa kehilangan kendali.
“Mereka marah karena mengira Prabowo akan jadi boneka. Ketika ternyata tidak, mereka mulai menyerang, bahkan menyuarakan pemakzulan. Ini menandakan ada faksi dalam lingkaran Jokowi yang masih ingin mempertahankan dinasti politik,” katanya.
Pesan Moral: Politik Bukan Alat Balas Dendam
Rocky menutup pandangannya dengan menekankan bahwa langkah Prabowo ini merupakan langkah etis dan moral untuk memulihkan demokrasi. “Politik tidak boleh jadi alat untuk menghukum. Itu yang dilakukan Jokowi. Dan Prabowo sedang mengakhiri itu,” katanya.
Ia berharap ke depan, langkah ini menjadi standar baru agar hukum tidak lagi digunakan untuk menyasar lawan politik. Ia juga menyebut bahwa keputusan Prabowo harus konsisten diberlakukan terhadap semua, termasuk dalam isu-isu seperti dugaan ijazah palsu Jokowi atau proses hukum pemakzulan Gibran.
“Presiden Prabowo harus menunjukkan bahwa tidak boleh ada lagi tekanan politik terhadap aktivis atau pembela demokrasi,” tegas Rocky.