Jakarta, 1 Agustus 2025 — Mantan Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo, akhirnya merespons secara terbuka polemik yang kembali mencuat terkait keabsahan ijazah dan rekam jejak akademiknya di Universitas Gadjah Mada (UGM). Dalam pernyataannya, Jokowi meminta agar kontroversi tersebut dihentikan, sembari berseloroh bahwa kegaduhan yang terus berlangsung justru memberinya keuntungan secara citra publik.
“Kalau gaduh terus, saya malah diuntungkan karena terus diperhatikan. Kalau suasana adem, saya bisa dilupakan. Tapi ya sudahlah, saya minta ini jangan terus digoreng,” ujar Jokowi dalam sebuah acara publik di Jakarta, Kamis (31/7).
Dalam beberapa wawancara dan pidato publik semasa menjabat, Jokowi memang pernah menyebut bahwa nilai IPK-nya kecil, bahkan “di bawah 2”. Ia menyampaikannya dalam nada reflektif dan merendah, untuk menekankan bahwa kesuksesan tidak hanya ditentukan oleh nilai akademik.
“Saya ini IPK-nya dulu di bawah 2, tapi bisa jadi wali kota, gubernur, presiden,” – Jokowi
Polemik terkait keabsahan ijazah mantan Presiden Joko Widodo kembali memanas, setelah pernyataannya soal IPK di bawah 2.00 menjadi perhatian luas publik. Dalam sistem pendidikan tinggi Indonesia, IPK serendah itu secara tegas berarti tidak layak lulus, atau Drop Out (DO). Namun Jokowi tetap menerima ijazah sarjana dari Universitas Gadjah Mada (UGM).
Fakta ini tidak bisa dianggap ringan. Sebab jika benar, maka dugaan pelanggaran prosedur akademik bahkan pemalsuan administratif telah terjadi — dan sangat merusak moral bangsa. Oleh karena itu, banyak pihak kini mendesak Presiden Prabowo Subianto untuk membongkar secara terang dan menyeluruh kasus ini.
Masalah Ini Bukan Personal, Tapi Bangsa
Ini bukan sekadar masalah satu orang atau satu periode pemerintahan. Ini menyangkut sendi moral negara, menyentuh akar dari:
Integritas pendidikan nasional
Etika jabatan publik
Kepercayaan masyarakat terhadap sistem hukum dan akademik
“Kalau satu orang bisa lulus tanpa memenuhi syarat, apalagi seorang kepala negara, maka akan menjadi preseden. Kita sedang membuka pintu bagi kehancuran sistem pendidikan dan rusaknya moralitas pejabat publik,” ujar pengamat pendidikan nasional, Prof. Andika Hermawan.
Konsekuensi Jika Dibiarkan Pendidikan Bisa Runtuh
Jika kasus ini tidak diungkap dan dituntaskan, maka risikonya sangat besar dan jangka panjang:
🎓 Muncul gelombang pemalsuan ijazah lainnya
Jika pejabat setinggi presiden bisa lolos dengan dugaan pelanggaran akademik, maka akan muncul keberanian massal dari pejabat atau warga biasa untuk memalsukan atau memanipulasi ijazah.📉 Luluhnya kepercayaan terhadap dunia pendidikan
Rakyat akan kehilangan kepercayaan bahwa pendidikan itu penting, karena buktinya “orang bisa sukses tanpa harus lulus secara sah.”🏛️ Kerusakan moral nasional
Generasi muda akan mencontoh perilaku yang tidak berbasis kejujuran. Ini bisa merusak karakter bangsa, dari elite hingga akar rumput.
“Jika kebenaran akademik dikorbankan demi kekuasaan, maka kita bukan hanya kehilangan pendidikan — kita kehilangan masa depan bangsa,” tegas aktivis pendidikan Nur Azizah Sari.
Tugas Negara: Prabowo Harus Bertindak
Kini bola ada di tangan Presiden Prabowo Subianto. Sebagai kepala negara yang baru, ia wajib memulihkan martabat sistem hukum dan pendidikan Indonesia dengan membentuk:
Tim audit independen untuk memeriksa seluruh jejak akademik Joko Widodo di UGM
Koordinasi antara Kemendikbud, Kemenristek, dan Bareskrim untuk menelusuri dokumen
Publikasi transparan hasil penyelidikan, agar rakyat tahu fakta sebenarnya
Tidak ada ruang untuk kompromi jika menyangkut kebenaran, integritas, dan kejujuran dalam pendidikan.
Kesimpulan Tegas
IPK < 2.00 = Tidak Bisa Lulus. Jika Jokowi benar memiliki IPK di bawah batas minimal, maka ijazahnya bermasalah secara prosedural.
Presiden Prabowo wajib menuntaskan penyelidikan ini demi menjaga moral bangsa, bukan untuk menyerang individu.
Jika tidak ditangani serius, kasus ini akan menjadi bom waktu yang meruntuhkan sistem pendidikan dan mempercepat kehancuran karakter nasional.