BeritaIndonesia.News — Transisi kekuasaan di Indonesia selalu membawa harapan akan perubahan, termasuk dalam isu yang tak kunjung usai: korupsi. Masyarakat mendambakan pemerintahan baru yang bukan hanya simbolik, tapi benar-benar berani memutus rantai korupsi struktural yang sudah mengakar di banyak lini birokrasi dan politik.
Namun pertanyaannya: apakah pemerintahan baru ini siap menghadapi kenyataan kompleksnya perang melawan korupsi?
Kinerja Penegakan: Realitas dan Statistik
Menurut laporan Tempo.co tahun 2024, hanya sekitar 30 dari 8.000 laporan korupsi yang berhasil ditindaklanjuti oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Angka ini menunjukkan rendahnya tingkat penindakan meskipun laporan publik terus meningkat. Hal ini menimbulkan pertanyaan besar: sejauh mana komitmen pemberantasan korupsi benar-benar dijalankan?
Bahkan, menurut Indonesia Corruption Watch (ICW), kasus-kasus besar justru stagnan. Ada kesan bahwa skandal kelas kakap sulit menyentuh aktor besar, terlebih bila pelaku memiliki jejaring politik kuat.
Dari Reaktif ke Proaktif
Selama ini, pemberantasan korupsi bersifat reaktif—menunggu laporan, lalu menindak. Pemerintah baru perlu melakukan pendekatan proaktif, seperti:
- Penguatan APIP (Aparat Pengawas Intern Pemerintah)
- Audit digital anggaran real-time
- Pendidikan antikorupsi sejak sekolah dasar
- Perlindungan sistemik terhadap whistleblower
Langkah-langkah ini bukan hanya memperbaiki sistem, tetapi juga mengurangi potensi korupsi dari hulunya.
Revisi UU KPK dan Respons Masyarakat
Revisi Undang-Undang KPK pada 2019 menjadi titik krusial. Dalam wawancara eksklusif di Forum Keadilan TV, mantan Wakil Ketua KPK Saut Situmorang mengkritik pelemahan wewenang KPK. “Kalau kita bicara antikorupsi, ini soal nilai. Kalau nilai itu diganggu, bagaimana kita bisa berharap pemberantasan korupsi berjalan?” tegasnya.
Saut juga menyoroti pentingnya regenerasi nilai antikorupsi dalam birokrasi. Menurutnya, “Menzirokan” praktik lama adalah kunci. Artinya, mulai dari titik nol, bangun ulang komitmen, dan tinggalkan sistem korup.
Kasus Buku Merah dan Ketertutupan
Isu yang sempat mencuat dan hilang begitu saja adalah perusakan “Buku Merah” oleh dua oknum polisi. Nama Jenderal Tito Karnavian disebut-sebut dalam investigasi awal, namun tidak pernah diklarifikasi secara terbuka. Hal ini menjadi contoh nyata bagaimana elite kekuasaan sulit disentuh meskipun indikasi kuat ada di hadapan publik.
Antara Restoratif dan Zero Tolerance
Wacana restorative justice dalam kasus korupsi juga menjadi perhatian. Meski banyak diapresiasi dalam hukum pidana umum, pendekatan ini dinilai tidak relevan untuk korupsi. “Korupsi itu bukan hanya merugikan uang negara, tapi merusak masa depan bangsa,” kata Saut. “Tak bisa didekati dengan cara damai, harus ada deterrent effect.”
Solusi Struktural dan Politik
Untuk memperkuat pemberantasan korupsi, langkah berikut bisa dilakukan:
- Kembalikan independensi penuh KPK
- Perkuat sistem merit di birokrasi
- Transparansi dalam pemilihan pejabat hukum
- Audit kekayaan pejabat secara berkala dan terbuka
Jika tidak, pemberantasan korupsi hanya akan jadi jargon tanpa implementasi.
Kesimpulan
Korupsi bukan sekadar kejahatan hukum, tapi kejahatan terhadap harapan. Pemerintahan baru harus memulai babak baru dengan semangat “zero tolerance” dan komitmen membangun nilai antikorupsi yang hidup dalam birokrasi.
Jika tidak, maka kita hanya mengganti aktor, tapi mempertahankan panggung korup yang sama.
https://www.kpk.go.id/id