“Kebenaran Sebagai Poros Kepemimpinan: Tafsir Filosofis atas Hubungan antara Pemimpin, Kebenaran, dan Keadilan”

Date:

Share post:

“Keadilan tak akan pernah tampak bagi siapa pun yang memusuhi kebenaran. Tuhan menggantungkan keadilan di balik tabir kebenaran, dan hanya yang jujur yang bisa menyibaknya.”

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kepemimpinan dalam Islam tidak sekadar berkaitan dengan kekuasaan administratif atau kemampuan manajerial, tetapi menyangkut dimensi ruhani yang jauh lebih mendalam. Seorang pemimpin dalam Islam diposisikan sebagai khalifah fi al-ardh — wakil Tuhan di muka bumi — yang bertanggung jawab atas penegakan hukum, perlindungan umat, dan menjaga harmoni antara manusia dan alam dalam bingkai kehendak ilahiah. Dalam konstruksi ini, dua nilai utama yang menjadi pondasi mutlak kepemimpinan adalah kebenaran (ṣidq) dan keadilan (ʿadl/qisṭ). Namun, dalam banyak perenungan filosofis dan teologis, muncul pertanyaan mendasar: mana yang lebih utama ditegakkan oleh seorang pemimpin — kebenaran atau keadilan?

Dalam diskursus publik dan politik kontemporer, keadilan sering dijadikan sebagai slogan utama dalam melegitimasi kekuasaan. Namun sayangnya, banyak pemimpin memperlakukan keadilan sebagai hasil manipulasi akal dan persepsi semata, bukan sebagai hasil dari proses ruhani yang tunduk pada kebenaran. Akibatnya, yang lahir bukanlah keadilan sejati, melainkan pembenaran atas hasrat, yang dikemas dalam bentuk formalitas hukum dan prosedur administratif. Dalam konteks ini, keadilan kehilangan ruhnya sebagai bagian dari sistem ilahiah, dan menjadi alat politis yang mudah dikendalikan oleh nafsu dan kepentingan.

Sebaliknya, Al-Qur’an secara halus namun tegas menekankan bahwa keadilan tidak akan pernah dapat ditegakkan tanpa kebenaran. Kebenaran adalah poros spiritual dan eksistensial yang melahirkan keadilan sebagai buahnya. Seorang pemimpin yang menegakkan kebenaran — dalam arti tunduk secara total pada hukum-hukum Tuhan, membersihkan diri dari hasrat pribadi, dan berlaku jujur dalam batinnya — akan memancarkan keadilan secara alami, karena alam dan masyarakat akan bergerak seiring dengan kehendak Tuhan yang absolut. Sebaliknya, pemimpin yang meninggalkan kebenaran akan menebar kerusakan, meski tampil dengan retorika keadilan.

Dalam pandangan ini, keadilan bukan sesuatu yang diciptakan oleh manusia, melainkan hasil dari proses yang terjadi ketika kebenaran ditegakkan dengan tulus dan konsisten. Pemikiran ini tidak hanya menantang pemahaman mainstream tentang keadilan, tetapi juga menawarkan paradigma baru yang lebih teosentris, holistik, dan kosmik dalam memahami tugas seorang pemimpin.

1.2 Rumusan Masalah

Tulisan ini berangkat dari pertanyaan-pertanyaan mendasar berikut:

  1. Bagaimana Al-Qur’an memposisikan kebenaran dan keadilan dalam konteks kepemimpinan?

  2. Mengapa kebenaran harus menjadi prioritas utama bagi seorang pemimpin dibandingkan keadilan?

  3. Bagaimana relasi antara kebenaran, keadilan, dan hasrat (nafsu) dalam perspektif teologi Islam?

  4. Apa dampaknya terhadap masyarakat dan alam jika pemimpin meninggalkan kebenaran dan menggantikannya dengan pembenaran?

1.3 Tujuan Kajian

Tulisan ini bertujuan untuk:

  • Menyajikan tafsir filosofis atas hubungan antara kebenaran dan keadilan dalam konteks kepemimpinan Islam.

  • Menggali konsep kebenaran sebagai akar dari keadilan berdasarkan perspektif Al-Qur’an dan pemikiran Islam klasik.

  • Menyusun kerangka pemikiran yang dapat dijadikan fondasi bagi rekonstruksi model kepemimpinan Islam yang berbasis kebenaran ilahiah.

1.4 Urgensi Kajian

Di tengah krisis kepemimpinan global yang sering mempermainkan makna keadilan demi kekuasaan, kajian ini menjadi sangat relevan. Dunia Islam khususnya, membutuhkan paradigma kepemimpinan yang tidak hanya kuat secara struktur, tetapi juga benar secara ruhani dan kosmis. Dengan menggali kembali hubungan fundamental antara kebenaran dan keadilan dalam bingkai tauhid, tulisan ini diharapkan dapat memberi kontribusi terhadap pembangunan epistemologi kepemimpinan Islam yang lebih luhur dan transenden.

TINJAUAN PUSTAKA

Tulisan ini tidak berangkat dari pendekatan historis-politik, sosiologis, atau hukum positif, melainkan dari sumber epistemologi Islam yang paling mendalam dan fundamental, yaitu wahyu dan hikmah ruhani. Oleh karena itu, landasan pustaka dalam kajian ini dibatasi secara sadar hanya pada:

  1. Al-Qur’an al-Karim

  2. Ucapan Nabi Muhammad SAW (hadis-hadis terpilih)

  3. Kitab Syarah al-Ḥikam karya Ibnu ʿAṭā’illah as-Sakandari

2.1 Al-Qur’an al-Karim: Wahyu sebagai Poros Etika Kepemimpinan

Al-Qur’an tidak hanya memuat hukum dan perintah, tetapi juga mengandung prinsip-prinsip dasar tentang hakikat kepemimpinan, amanah, dan tanggung jawab kosmik manusia di muka bumi. Di dalamnya, nilai kebenaran (ṣidq) dan keadilan (ʿadl) diposisikan sebagai prinsip asasi dalam membangun tatanan kehidupan yang diridhai Allah.

Namun, Al-Qur’an lebih menekankan perintah kepada pemimpin untuk menegakkan keadilan, sementara nilai kebenaran lebih diarahkan sebagai syarat batiniah yang melekat pada pribadi seorang pemimpin. Kajian ini menelusuri benang merah itu, sembari menyingkap makna bahwa keadilan adalah buah dari kebenaran yang ditanamkan dalam jiwa yang bersih.

Beberapa ayat kunci yang menjadi rujukan pokok antara lain:

  • QS. An-Nisa’:58 — perintah menegakkan hukum dengan adil bagi pemegang amanah.

  • QS. Shad:26 — perintah kepada Nabi Dawud untuk memutuskan perkara dengan adil dan tidak mengikuti hawa nafsu.

  • QS. Al-Ma’idah:8 — larangan membiarkan kebencian menghalangi keadilan; keadilan lebih dekat kepada takwa.

  • QS. At-Taubah:119 — perintah bertakwa dan menjadi bagian dari orang-orang yang benar (ṣādiqīn).

  • QS. Al-Ahzab:70 — perintah mengucapkan perkataan yang benar (qawlan sadīdan).

Dengan dasar ini, Al-Qur’an tidak hanya menjadi sumber normatif, tetapi juga membentuk kerangka spiritual, moral, dan metafisik yang menyatukan antara batin pemimpin dengan struktur keadilan kosmik.

2.2 Hadis Nabi: Kebenaran sebagai Jalan Selamat dan Penentu Nilai Kepemimpinan

Rasulullah SAW tidak hanya memberi teladan dalam bentuk ucapan, tetapi dalam seluruh laku hidupnya. Beliau dikenal sebagai al-Amīn (yang dapat dipercaya) dan ṣādiq (yang benar), bahkan sebelum diangkat menjadi Rasul. Ini menunjukkan bahwa kebenaran adalah syarat moral dan eksistensial yang mendahului amanah kepemimpinan.

Beberapa hadis yang menjadi rujukan antara lain:

  • “Hendaklah kalian berlaku jujur (ṣidq), karena kejujuran akan membawa kepada kebaikan, dan kebaikan akan membawa ke surga.” (HR. Bukhari dan Muslim)

  • “Pemimpin kalian adalah cerminan dari diri kalian.” (Hadis dengan redaksi serupa ditemukan dalam berbagai sumber)

  • “Tidaklah seorang hamba diberi amanah oleh Allah untuk memimpin manusia, lalu ia mati dalam keadaan menipu rakyatnya, kecuali Allah mengharamkan surga atasnya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Hadis-hadis ini menunjukkan bahwa pemimpin dituntut memiliki kejujuran yang bersih dari hawa nafsu, sebab kebohongan dan manipulasi akan menjerumuskan pada pengkhianatan terhadap amanah Tuhan.

2.3 Syarah al-Ḥikam Ibnu ʿAṭā’illah as-Sakandari: Kebenaran sebagai Cahaya Ruhani, Keadilan sebagai Tajalli Ilahi

Kitab al-Ḥikam al-ʿAṭā’iyyah adalah karya monumental tasawuf falsafi yang menjelaskan hakikat perbuatan, kehendak Tuhan, dan keterbatasan manusia. Dalam syarahnya, banyak dijelaskan bahwa:

  • Segala yang terjadi dalam hidup ini adalah bagian dari kehendak mutlak Allah. Maka keadilan hakiki bukan hasil dari usaha manusia, melainkan buah dari tunduknya manusia terhadap kehendak dan kebenaran Tuhan.

  • “Perbuatan-perbuatan lahiriyah tidak akan memberi pengaruh tanpa keterhubungan ruhani dengan kebenaran yang datang dari Allah.” (makna hikmah no. 10–20)

  • Dalam banyak tempat, Ibnu ʿAṭā’illah menjelaskan bahwa hasrat diri (hawa) adalah hijab utama yang membuat manusia menggantikan kebenaran dengan pembenaran.

Dalam konteks kepemimpinan, ini berarti bahwa pemimpin yang menundukkan dirinya pada ṣidq (kebenaran sejati) akan dipakai oleh Allah untuk menebar keadilan. Sebaliknya, pemimpin yang tunduk pada keinginan nafsu dan logika pembenaran akan menebar kerusakan, meskipun secara lahiriah mengusung keadilan.

KERANGKA TEORETIS

Tulisan ini dibangun di atas tiga kerangka besar yang saling berjalin: (1) Kebenaran sebagai fondasi kepemimpinan, (2) Keadilan sebagai buah dari kebenaran, dan (3) Peran hawa nafsu dalam merusak relasi antara keduanya. Ketiganya tidak dibahas sebagai konsep moral normatif semata, melainkan sebagai struktur kosmis-spiritual yang berakar dalam ajaran wahyu dan hikmah.

3.1 Kebenaran sebagai Fondasi Kepemimpinan

Dalam perspektif Al-Qur’an dan hikmah ruhani, kebenaran (al-ḥaqq atau al-ṣidq) bukan hanya kata sifat moral, tetapi hakikat yang menghubungkan manusia dengan Tuhan. Seorang pemimpin yang tidak menegakkan kebenaran, hakikatnya telah memutuskan dirinya dari sumber nilai yang sejati. Ini selaras dengan firman Allah:

“Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan jadilah kalian bersama orang-orang yang benar (ṣādiqīn).” (QS. At-Taubah:119)

Kebenaran dalam konteks ini bukan sekadar berkata jujur, tetapi mencakup:

  • Kesetiaan batin terhadap perintah Tuhan

  • Kemurnian niat dalam memikul amanah

  • Ketundukan total kepada kebenaran ilahiah, bukan persepsi duniawi

Dalam Syarah al-Ḥikam, Ibnu ʿAṭā’illah menyatakan:

“Amalan-amalan lahiriyah tidak akan memberi cahaya jika tidak dibangun atas kejujuran dalam hubunganmu dengan Tuhan.”

Dengan kata lain, ṣidq adalah akar ruhani, dan tanpa itu, seluruh amal (termasuk kepemimpinan) akan kosong dari barakah.

3.2 Keadilan sebagai Buah dari Kebenaran

Keadilan dalam Al-Qur’an diakui sebagai salah satu perintah tertinggi yang diberikan kepada manusia, terutama pemimpin:

“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menetapkan hukum dengan adil…” (QS. An-Nisa’:58)
“Wahai Dawud, sesungguhnya Kami menjadikanmu khalifah di bumi, maka berilah keputusan di antara manusia dengan adil…” (QS. Shad:26)

Namun, keadilan bukan titik awal, melainkan hasil. Ia adalah buah dari pohon kebenaran yang tumbuh dalam jiwa pemimpin yang lurus.

Ibnu ʿAṭā’illah menyatakan bahwa:

“Tidak ada keadilan yang sejati dari makhluk, kecuali yang berasal dari kesadaran atas kehendak Allah yang tidak pernah zalim.”

Maka keadilan dalam Islam bukan didefinisikan berdasarkan kesetaraan matematis atau kehendak mayoritas, tetapi dari kemampuan menempatkan sesuatu sebagaimana yang dikehendaki oleh Tuhan.

3.3 Hawa Nafsu: Hijab antara Kebenaran dan Keadilan

Masalah besar dalam kepemimpinan bukanlah ketiadaan hukum, tetapi masuknya hawa nafsu (desire) ke dalam struktur pengambilan keputusan.

“Dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena itu akan menyesatkan kamu dari jalan Allah.” (QS. Shad:26)

Ketika seorang pemimpin tidak lagi mengakar pada kebenaran, maka:

  • Ia menggunakan hukum bukan untuk menegakkan keadilan, tapi untuk mempertahankan kekuasaan.

  • Ia menjadikan “keadilan” sebagai topeng dari pembenaran hawa nafsunya sendiri.

  • Ia melahirkan sistem yang terlihat adil di permukaan, namun rusak di dalam — karena dibangun di atas kecurangan batin.

Ibnu ʿAṭā’illah memperingatkan:

“Nafsumu lebih pandai membungkus kehendaknya dalam nama-nama baik, daripada setan itu sendiri.”

Artinya, pembenaran adalah wajah halus dari kebohongan, dan hanya orang yang memiliki kebenaran batin (ṣidq) yang mampu menghindarinya.

ANALISIS UTAMA

“Tidak Pernah Terbit Keadilan Jika Tidak Tegak Kebenaran yang Sesungguhnya”

4.1 Keadilan Ilahiah adalah Buah, Bukan Akar

Dalam struktur nilai Islam, keadilan (al-ʿadl) tidak berdiri sendiri sebagai fondasi utama. Ia buah dari kebenaran (al-ḥaqq) yang ditegakkan terlebih dahulu. Keadilan tanpa kebenaran akan menjadi palsu, bias, atau bahkan manipulatif. Sebagaimana ditegaskan dalam Syarah al-Ḥikam:

“Siapa yang tidak menyandarkan keputusannya pada cahaya kebenaran, maka ia sedang menjadikan dirinya sebagai sekutu Tuhan dalam menentukan hukum.”

Artinya, ketika seorang pemimpin menafsirkan keadilan berdasarkan persepsi akalnya semata—yang terbatas dan sering diganggu oleh hawa nafsu—maka ia telah menggeser sumber keadilan dari Tuhan kepada dirinya sendiri. Dan ini adalah bentuk pengkhianatan terhadap amanah kekhalifahan.

4.2 Kebenaran sebagai Sumber Keputusan yang Adil

Al-Qur’an menyatakan bahwa sumber utama keadilan adalah wahyu, bukan persepsi manusia:

“Dan Kami telah turunkan Kitab (Al-Qur’an) kepadamu dengan membawa kebenaran, agar kamu mengadili di antara manusia dengan apa yang Allah telah ajarkan kepadamu…” (QS. An-Nisa’:105)

Ayat ini menjelaskan dua prinsip utama:

  1. Al-Qur’an adalah sumber kebenaran (bi al-ḥaqq)

  2. Pemimpin hanya dapat adil jika ia mengadili dengan apa yang Allah ajarkan

Maka kebenaran yang dimaksud di sini adalah kebenaran yang berasal dari wahyu, bukan konstruksi sosial, filsafat politik, atau kehendak mayoritas.

4.3 Keadilan Manusiawi adalah Keadilan yang Terbatas

Banyak pemimpin modern membangun sistem keadilan di atas dasar kompromi politik, logika rasional, dan kehendak rakyat. Meski tampak progresif, sistem ini rawan melahirkan keadilan semu, karena:

  • Dibangun tanpa kebenaran yang absolut

  • Mudah disusupi kepentingan pribadi dan kelompok

  • Cenderung memproduksi pembenaran, bukan kebenaran

Ibnu ʿAṭā’illah menyebutkan:

“Seburuk-buruk makhluk adalah yang berhukum kepada akalnya sendiri dan memutuskan dengan cahaya dirinya, bukan dengan cahaya Tuhan.”

Maka dalam pandangan sufistik, keadilan yang benar hanya muncul dari jiwa yang telah tersambung kepada cahaya kebenaran ilahi.

4.4 Kepemimpinan yang Menegakkan Kebenaran, Alam akan Bersaksi

Pemimpin yang jujur dalam menegakkan kebenaran, meski perlahan, akan melahirkan sistem yang adil secara organik. Alam pun akan bersaksi terhadap kebenaran yang ia bawa. Hal ini ditegaskan dalam Al-Qur’an:

“Dan langit telah Dia tinggikan dan Dia letakkan neraca (keadilan). Supaya kamu jangan melampaui batas dalam neraca itu.” (QS. Ar-Rahman:7–8)

Keadilan (al-mīzān) dalam ayat ini adalah sistem alam yang seimbang — dan manusia diperintahkan untuk menyesuaikan hukum sosialnya dengan hukum Tuhan dalam semesta.

Sehingga ketika seorang pemimpin menegakkan kebenaran yang sesuai dengan neraca Allah, maka keadilan akan muncul sebagai resonansi dari keselarasan itu, bukan sebagai proyek buatan manusia.

4.5 Nafsu Penghancur Keadilan

Pemimpin yang menjadikan keinginan dirinya sebagai standar hukum—meski dengan dalih “kebutuhan rakyat”—telah menggantikan perintah Tuhan dengan nafsunya.

“Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya?” (QS. Al-Jatsiyah:23)

Keadilan tidak mungkin hadir dalam sistem yang digerakkan oleh kepentingan diri atau kelompok. Karena nafsu selalu membelokkan kebenaran demi keinginan sesaat. Maka tidak heran bila banyak kebijakan yang mengatasnamakan “keadilan sosial”, namun hanya menjadi alat kekuasaan.

Ibnu ʿAṭā’illah menyatakan:

“Siapa yang menilai sesuatu berdasarkan nafsunya, niscaya akan melihat cahaya sebagai kegelapan dan kegelapan sebagai cahaya.”

4.6 Pembenaran: Wajah Lain dari Ketidakadilan

Bentuk paling halus dari penghancuran keadilan adalah ketika pembenaran (justifikasi) menggantikan kebenaran. Dalam sistem seperti ini:

  • Hukum dipakai untuk melegitimasi tindakan zalim

  • Retorika kebaikan dipakai untuk menutupi korupsi

  • “Keadilan” menjadi alat propaganda, bukan manifestasi nilai

Inilah kondisi yang oleh Al-Qur’an digambarkan sebagai:

“Mereka mengubah firman Allah dari tempat-tempatnya, dan mereka berkata: ‘Kami dengar’, padahal mereka tidak mendengar.” (QS. An-Nisa’:46)

Ini bukan hanya penyesatan hukum, tapi pengkhianatan terhadap amanah kekhalifahan, karena menjadikan diri sebagai pengganti Tuhan dalam menilai baik dan buruk.

4.7 Jalan Kembali: Menjadi Pemimpin yang Benar

Pemimpin yang ingin menjadi adil, harus terlebih dahulu menjadi benar. Ia harus:

  1. Menyerahkan penilaian moralnya kepada wahyu

  2. Melepaskan hawa nafsunya sebagai penggerak keputusan

  3. Membuka jiwanya kepada cahaya (nūr) Tuhan dalam setiap tindakan

  4. Menyadari bahwa ia hanya pelayan dari kehendak Ilahi, bukan pencipta sistemnya sendiri

Hanya pemimpin seperti inilah yang layak memikul firman Allah:

“Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat ihsan…” (QS. An-Nahl:90)

PENUTUP

Menegakkan Kebenaran sebagai Jalan Satu-satunya Menuju Keadilan Ilahiah

Dalam terang ajaran Islam, kebenaran (al-ḥaqq) adalah fondasi segala sesuatu, termasuk keadilan (al-ʿadl) yang diidamkan manusia. Keadilan yang sejati tidak pernah berdiri di atas kompromi hawa nafsu, akal duniawi, atau kepentingan sesaat, melainkan hanya akan lahir dari keberpihakan total kepada hukum-hukum Tuhan.

Pemimpin bukanlah pencipta hukum, melainkan penjaga amanah dan penerus kehendak Ilahi di muka bumi. Maka tugas utama seorang pemimpin dalam Islam bukanlah mengakomodasi suara mayoritas atau menyeimbangkan konflik kepentingan, melainkan menegakkan kebenaran sebagaimana yang telah ditentukan oleh Allah dan disampaikan melalui Rasul-Nya.

Keadilan tidak akan pernah lahir dari sistem yang dibangun atas dasar pembenaran (justifikasi), karena pembenaran adalah hasil kerja akal dan hasrat yang kerap kali saling menipu. Sementara kebenaran adalah penerimaan jernih terhadap apa yang diturunkan Allah sebagai petunjuk (hudan) dan neraca (mīzān) kehidupan.

Sebagaimana ditegaskan dalam Syarah al-Hikam, keadilan bukan hasil rekayasa manusia, tapi buah dari penyerahan total kepada hukum Allah. Dan tugas seorang pemimpin adalah menjadi ladang tumbuhnya buah tersebut: bersih dari hawa nafsu, jujur dalam niat, dan istiqamah dalam menjalankan kehendak-Nya.

Apabila kebenaran ditegakkan sepenuh hati, maka keadilan akan menyusul sebagaimana bayang-bayang mengikuti wujud. Dan ketika keadilan sejati hadir di tengah masyarakat, maka alam semesta pun akan bersaksi dan turut menebarkan keberkahan, sebab hukum Allah telah berjalan sebagaimana mestinya di bumi-Nya.

DAFTAR REFERENSI

  1. Al-Qur’an al-Karim.
    Digunakan sebagai sumber utama untuk ayat-ayat yang berkenaan dengan konsep al-ḥaqq (kebenaran), al-ʿadl (keadilan), serta tanggung jawab pemimpin. Beberapa ayat penting yang dijadikan rujukan meliputi:

    • Surah An-Nahl [16]:90

    • Surah Al-Hadid [57]:25

    • Surah Al-Ma’idah [5]:8

    • Surah Shad [38]:26

    • Surah Al-Isra [17]:81

  2. Al-Hadis (Sabda Nabi Muhammad SAW).
    Dikutip secara tematik dan kontekstual, dengan penekanan pada hadis-hadis berikut:

    • “Pemimpin adalah pemelihara dan akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

    • “Sesungguhnya yang paling aku takutkan atas umatku adalah para pemimpin yang menyesatkan.” (HR. Ahmad)

    • “Katakanlah kebenaran walaupun pahit.” (HR. Ibn Hibban, dalam Sahih Ibn Hibban)

  3. Ibnu ‘Athaillah as-Sakandari.
    Syarḥ al-Ḥikam al-‘Aṭā’iyyah (Penjelasan atas Kitab al-Ḥikam).

    • Edisi yang dirujuk: Terjemahan dan Syarah oleh Syekh Ibn ‘Ajibah atau Syekh Ahmad Zarruq, dalam versi-versi yang beredar di Indonesia dan Timur Tengah.

    • Kutipan utama digunakan dalam memahami hakikat kehendak Tuhan (irādah), takdir (taqdir), pengaruh hawa nafsu, serta makna terdalam dari kebenaran dan keadilan menurut maqām spiritual.

 


Kebenaran sebagai Poros Kepemimpinan

Analisis Normatif dan Sufistik atas Kepemimpinan dalam Perspektif Al-Qur’an dan Syarah al-Hikam

 

 


Disusun oleh:
Muhibbuddin Abdul Rahman

Tahun Penulisan:
Medan, 26/07/2025

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Hand Bag

spot_img

Related articles

Pati Berkobar! Ratusan Ribu Massa Gempur Kantor Bupati, Gas Air Mata & Mobil Terbakar Warnai Aksi

PATI – Suasana di Kabupaten Pati, Jawa Tengah, Rabu (13/8/2025), berubah menjadi lautan amarah. Ratusan ribu massa yang...

Sudirman Said Resmi Jadi Rektor UHN Tegal, Siap Angkat Reputasi ke Level Internasional

TEGAL – Mantan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Sudirman Said resmi dilantik sebagai Rektor Universitas Harkat...

Pati Memanas! Ribuan Warga Kepung Pendopo, Teriak “Sudewo Mundur!” Meski PBB Batal Naik

PATI – Ribuan warga Kabupaten Pati, Jawa Tengah, yang tergabung dalam Aliansi Masyarakat Pati Bersatu menggelar aksi unjuk...

KPK Memburu Mastermind Dalang Suap Proyek RSUD Kolaka Timur

Jakarta — Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tengah membongkar lapisan demi lapisan dugaan korupsi dalam proyek pembangunan Rumah Sakit...