Garut – Publik tengah menyoroti pernyataan mantan Bupati Purwakarta, Dedi Mulyadi, terkait pesta rakyat yang digelar di Garut dalam rangka pernikahan anaknya. Sebelum acara, Dedi sempat menyebutkan secara detail mengenai hiburan rakyat dan lokasi di kanal YouTube miliknya. Namun setelah acara menuai kritik, ia justru menyatakan tidak mengetahui adanya pesta rakyat maupun kegiatan bersama warga.
Pernyataan yang saling bertolak belakang ini menimbulkan tanda tanya besar di masyarakat. Warganet mempertanyakan konsistensi dan transparansi seorang tokoh publik, terutama ketika acara tersebut menyedot perhatian luas dan berlangsung di ruang publik.
Namun, di saat yang sama, sebagian publik membandingkan perlakuan terhadap Dedi Mulyadi dengan sikap terhadap Presiden Joko Widodo. Sejumlah pernyataan Jokowi yang dinilai tidak akurat atau bertentangan dengan fakta selama menjabat, seperti soal impor pangan, pembangunan IKN, atau janji masa kampanye, tidak pernah berujung pada proses hukum, bahkan saat dianggap menyesatkan opini publik.
Beberapa pengamat menyebut fenomena ini sebagai bentuk “double standard” dalam penegakan akuntabilitas pejabat publik.
“Ketika seorang tokoh daerah memberikan pernyataan tidak konsisten, langsung ramai dan dikritik habis-habisan. Tapi ketika Presiden menyampaikan hal-hal yang keliru, tidak pernah ada upaya hukum serius,” ujar seorang akademisi politik dari UGM yang enggan disebut namanya.
Fenomena ini memunculkan pertanyaan mendasar tentang siapa yang boleh berbohong dan siapa yang akan diproses jika berbohong, terutama di tengah meningkatnya kesadaran publik terhadap integritas pemimpin.
Dedi Mulyadi: Disorot karena kontradiksi ucapan sebelum dan sesudah pesta rakyat Garut.
Jokowi: Pernah menyampaikan sejumlah pernyataan yang tak terbukti, namun tidak pernah menghadapi proses hukum akibatnya.
Masyarakat kini menuntut adanya standar etika dan hukum yang adil, bukan sekadar respons selektif terhadap tokoh-tokoh tertentu. Akuntabilitas harus berlaku untuk semua pejabat, tanpa kecuali.