Jakarta – Dalam peta kekuasaan Indonesia pasca-orde reformasi, muncul istilah baru yang menggambarkan pusat kendali kekuatan politik, ekonomi, dan hukum: “Mangkok Solo”. Istilah ini bukan sekadar metafora wilayah geografis, melainkan simbol dari konsentrasi kekuasaan yang terkonsolidasi di tangan aktor-aktor utama di kota kelahiran Presiden ke-7, Joko Widodo. Namun kini, ada pergeseran besar: Presiden Prabowo Subianto dinilai tengah melancarkan strategi diam-diam namun efektif untuk membongkar kekuatan tersebut.
Mangkok Solo Simbol Konsentrasi Kekuasaan
Solo, yang selama ini menjadi “dapur” politik nasional, merupakan episentrum di mana para ketua partai, oligarki bisnis, hingga penegak hukum berpusat. Dari sinilah keputusan besar disusun, mulai dari pencalonan tokoh politik hingga pengaruh atas aparat hukum dan ekonomi negara. Para analis menyebutnya sebagai kekuatan “Geng SOP” – Solo, Oligarki, dan Partai Politik.
Strategi Bubur Panas Hati-hati Tapi Menggigit
Prabowo dinilai tak memilih jalan konfrontatif dalam melawan sisa kekuatan Jokowi. Sebaliknya, ia memilih strategi menyantap “bubur panas” – pelan, terukur, namun konsisten. Analogi ini menjelaskan pendekatannya yang tidak frontal, tetapi secara bertahap menertibkan jaringan kekuasaan lama. Prabowo memosisikan diri bukan sebagai antitesis langsung dari Jokowi, melainkan sebagai pemimpin yang mengambil alih dan memperbaiki sistem dari dalam.
Kejaksaan sebagai Sendok Politik
Instrumen utama yang digunakan dalam strategi ini adalah Kejaksaan Agung. Lembaga ini kini didorong menjadi semacam “Kopassus penegakan hukum” yang diberi perlindungan penuh dari negara, bahkan hingga melibatkan TNI untuk menjaganya. Perlindungan yang ketat ini dinilai sebagai bentuk antisipasi terhadap potensi serangan balik dari kekuatan lama.
Kejaksaan mulai menyentuh kasus-kasus besar seperti:
- Skandal di Kementerian Pendidikan yang melibatkan staf khusus era Nadiem Makarim.
- Dugaan penguasaan aset negara oleh oligarki di GBK, Halim, dan Kemayoran.
- Pengambilalihan sawit ilegal dan kasus pertambangan.
- Judi online dan kasus-kasus keuangan strategis lainnya.
Pengaruh dan Warisan Jokowi di Ujung Tanduk?
Kekuatan Solo bukan hanya simbol kekuasaan, tetapi juga dinasti pusaran kekuasaan warisan Presiden Jokowi yang saat ini menjabat. Namun, publik menyoroti berbagai kekurangan dari sisi kapasitas dan pengalaman. Gerakan politik Gibran, mulai dari pencitraan hingga aktivitas kenegaraan, disebut sebagai duplikasi Jokowi, namun kurang diterima publik. Juga para penikmat warisan Jokowi yang dirasakan merusak tatanan berbangsa bernegara. Dapat dilihat para pejabat negara tidak punya rasa malu bermegah megah menggunakan uang rakyat dalam kehidupan mereka sehari hari.
Pernyataan Prabowo yang menyebut, “Jika saya tidak berhasil, saya tidak akan maju lagi,” ditafsirkan sebagai sinyal keras terhadap upaya melanggengkan dinasti. Pesannya jelas: jika dirinya saja berani mundur jika gagal, maka tidak sepantasnya Gibran melangkah tanpa capaian konkret.
Alih-alih melakukan reshuffle kabinet secara frontal, Prabowo tampaknya memilih mengumpulkan semua kekuatan ke dalam “mangkok” besar dan menyantapnya perlahan. Kasus Nadiem dan kemungkinan menyentuh tokoh seperti Budi Arie dianggap sebagai tes litmus bahwa Prabowo akan menindak tegas jika diperlukan, namun tanpa gegabah.
Transisi Senyap, Perubahan Nyata?
Presiden Prabowo tampaknya memilih strategi gaya lama, ala Soeharto: diam, dingin, tapi bergerak. Ia tidak menyatakan permusuhan secara terbuka terhadap Jokowi dan kelompoknya, tapi ia menegaskan bahwa hukum dan kepentingan bangsa lebih tinggi dari kekuasaan dinasti.
Kejaksaan, Dewan Pertahanan, dan instrumen hukum kini digerakkan seperti “sendok” yang menyuap bubur panas dari mangkok Solo. Pertanyaannya: apakah ini cukup untuk membalikkan arus kekuasaan? Ataukah strategi ini akan membakar bibir kekuasaan Prabowo sendiri?
Waktu yang akan menjawab, namun satu hal pasti: strategi mangkok Solo kini menjadi sandi perlawanan politik yang tak lagi bisa dianggap remeh.