Oleh: Muhibbuddin Abdul Rahman
Dalam negara hukum seperti Indonesia, asas dan prinsip hukum bukan sekadar norma tertulis, melainkan kompas moral yang menuntun perilaku para pemangku kepentingan, terutama mereka yang berada di puncak kekuasaan. Namun, bagaimana jika pemimpin tertinggi justru memanipulasi prinsip hukum demi kepentingan pribadinya? Bagaimana bila seorang presiden menjadikan logika hukum sebagai alat pembenaran sepihak, meski sebelumnya logika itu pernah ia abaikan saat digunakan oleh pihak lain? Kasus ijazah Presiden Joko Widodo dan tuduhan korupsi Formula E terhadap Anies Baswedan menjadi dua cermin yang menggambarkan standar ganda dan rusaknya logika hukum di tangan penguasa.
Anies dan Tuduhan Formula E: Saat Prinsip “Yang Menuduh Harus Membuktikan”.
Anies Baswedan, Gubernur DKI Jakarta periode 2017–2022, dituduh terlibat dalam praktik korupsi terkait penyelenggaraan ajang balap mobil listrik Formula E. Tuduhan ini muncul tanpa dasar hukum yang solid. Padahal, Anies telah menyampaikan secara terbuka bahwa seluruh dokumen anggaran dan laporan audit telah diserahkan kepada Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), yang juga telah diperiksa oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Hingga kini, tidak ada temuan korupsi yang sahih dalam dokumen tersebut.
Namun, tekanan politik terhadap KPK saat itu begitu besar. Pimpinan KPK, berdasarkan berbagai laporan, diduga kuat ditekan oleh pihak tertentu untuk memaksakan status tersangka terhadap Anies. Meski belum ada bukti hukum yang sah, tekanan tersebut menunjukkan indikasi upaya kriminalisasi yang sistematis terhadap figur politik tertentu.
Dalam merespons tuduhan itu, Anies menyampaikan sebuah prinsip hukum mendasar: “Kalau saya sudah menyerahkan semua data dan tidak ditemukan korupsi, tapi masih dituduh, maka yang menuduh wajib membuktikan.” Ini adalah logika hukum yang adil dan beradab, mengacu pada asas praduga tak bersalah yang dijunjung tinggi dalam sistem hukum mana pun. Sayangnya, pernyataan tersebut tidak menjadi pegangan para pemegang kekuasaan dan media pendukung rezim. Justru Anies seolah-olah diposisikan sebagai terdakwa sebelum terbukti bersalah.
Jokowi dan Ijazah yang Dipertanyakan: Logika Yang dipakai Anies Dipakainya juga untuk Membela Diri
Beberapa waktu berselang, isu lama yang sempat tenggelam kembali mencuat: keabsahan ijazah Presiden Joko Widodo. Sejumlah pihak meragukan keaslian dokumen pendidikannya dan meminta klarifikasi serta verifikasi publik. Dalam menyikapi isu tersebut, Jokowi mengambil sikap membela diri dengan menyatakan bahwa “yang menuduh harus membuktikan.” Ini adalah pengulangan dari logika hukum yang digunakan oleh Anies sebelumnya dalam konteks yang berbeda.
Namun perbedaan mendasarnya adalah ini: saat Anies menggunakan prinsip itu, justru narasinya dibungkam. Tetapi ketika Jokowi menggunakannya, justru dibela dan dijadikan standar. Ini adalah bentuk nyata dari manipulasi logika hukum oleh seorang pemimpin negara. Standar ganda yang diterapkan menunjukkan bahwa hukum di negeri ini tidak berdiri sama tinggi bagi setiap warga negara, tetapi tunduk kepada kehendak politik dan posisi kekuasaan.
Secara moral dan etika publik, hal ini sangat berbahaya. Seorang presiden seharusnya menjadi contoh dalam menjunjung tinggi hukum secara konsisten, bukan hanya saat menguntungkan dirinya. Ketika prinsip hukum dijadikan alat retoris yang fleksibel sesuai situasi politik, maka sesungguhnya yang dihancurkan bukan hanya kepercayaan publik terhadap pemimpin, melainkan legitimasi hukum itu sendiri.
Efek Domino: Rakyat Bingung, Moral Publik Tergerus
Dalam masyarakat demokratis, logika hukum adalah acuan dalam menilai tindakan publik. Namun ketika pemimpin negara dengan sengaja menyulap prinsip hukum menjadi alat pembelaan diri, padahal sebelumnya prinsip itu ia abaikan saat digunakan orang lain, maka yang rusak bukan hanya persepsi hukum, melainkan nilai moral masyarakat.
Banyak rakyat yang tidak memahami aturan hukum secara teknis. Mereka belajar dari contoh. Dan saat contoh yang diberikan oleh pemimpin adalah inkonsistensi, manipulasi, dan pembenaran sepihak, maka wajar jika akhirnya rakyat menjadi skeptis. Mereka kehilangan kepercayaan terhadap sistem. Lebih parah lagi, rakyat bisa belajar menormalisasi ketidakadilan, karena merasa itulah yang dilakukan oleh pemimpin mereka.
Apa jadinya sebuah bangsa jika pemimpinnya tidak taat asas? Jika etika kepantasan dan kepatutan dalam bernegara dilanggar secara terang-terangan, dan kekuasaan dijalankan secara semena-mena?
Satu per satu tatanan akan runtuh. Hukum tinggal simbol. Institusi menjadi alat. Demokrasi kehilangan makna. Dan rakyat, perlahan tapi pasti, akan mencari keadilan di luar sistem.
Pemimpin yang Tidak Memberi Teladan, Adalah Awal dari Hancurnya Bangsa
Joko Widodo adalah mantan presiden yang memiliki pengaruh besar terhadap arah bangsa. Namun justru karena besarnya pengaruh itu, ia memiliki tanggung jawab moral yang jauh lebih besar. Sayangnya, dalam banyak hal, tanggung jawab itu tidak ia penuhi. Dalam kasus ijazah, ia lebih memilih membela diri dengan logika hukum yang ia abaikan saat digunakan oleh orang lain.
Bayangkan dampaknya jika semua tokoh publik mengikuti cara ini. Setiap kali ada tuduhan, mereka cukup menyatakan “yang menuduh harus membuktikan” tanpa membuka akses verifikasi publik, tanpa transparansi data, tanpa kesediaan untuk diuji secara terbuka. Maka keadilan tidak lagi bergantung pada kebenaran, tetapi pada kemampuan mengontrol narasi dan kekuasaan.
Negara Butuh Pemimpin, Bukan Penguasa
Bangsa ini tidak kekurangan pejabat, tetapi krisis pemimpin sejati. Pemimpin sejati tidak akan memelintir hukum demi membela diri. Pemimpin sejati tahu bahwa hukum adalah dasar moral publik. Mereka sadar bahwa kekuasaan bukan hak prerogatif absolut, melainkan mandat yang harus dijalankan dengan penuh etika, kejujuran, dan konsistensi.
Logika hukum bukan milik penguasa. Ia milik semua rakyat. Dan saat seorang pemimpin menyalahgunakannya untuk membungkam lawan, membela diri, dan memanipulasi publik, maka ia bukan lagi pemimpin, tetapi hanya penguasa yang memaksakan kehendaknya atas nama jabatan.
Rakyat Indonesia tidak bodoh. Mereka diam bukan berarti tidak tahu. Mereka diam karena menunggu. Dan saat keadilan benar-benar dicederai, sejarah akan mencatat siapa yang berdiri di pihak kebenaran dan siapa yang membiarkannya dilindas oleh logika kekuasaan.