Di balik pernyataan yang terdengar sederhana—”bagi saya pribadi no problem, sudah ini bagus sekali”—tersembunyi pertanyaan besar tentang makna partisipasi publik. Ketika partisipasi dimaknai sekadar dokumentasi seperti risalah dan foto-foto kegiatan, apakah itu masih pantas disebut sebagai suara rakyat?
Dalam sebuah video pendek yang beredar baru-baru ini, seorang pejabat menyampaikan pandangannya soal partisipasi masyarakat dalam suatu agenda publik. Ucapannya ringkas, tapi menyimpan makna yang dalam:
“Bagi saya pribadi no problem, sudah ini bagus sekali. Tapi masalah yang harus dilakukan adalah partisipasi dari masyarakat yang bermakna. Untuk itu dibuktikan bukti dokumen, risalah, foto-foto kegiatan, dan sebagainya yang berkaitan dengan itu.” Arif Hidayat Hakim Mahkamah Konstitusi
Sekilas terdengar apresiatif, namun jika dikupas lebih dalam, muncul sejumlah pertanyaan penting. Apa makna partisipasi yang “bermakna” itu? Apakah kehadiran fisik dan dokumentasi administratif cukup untuk mengklaim bahwa publik telah terlibat secara substantif?
Partisipasi publik dalam demokrasi bukan sekadar hadir dalam rapat, tanda tangan absen, lalu difoto bersama baliho acara. Ia adalah proses interaktif—rakyat didengar, gagasan dikaji, keputusan diubah atau dipengaruhi berdasarkan masukan publik. Namun, praktik di lapangan sering kali menyederhanakannya hanya menjadi checklist administratif.
Kata kunci seperti “bukti dokumen” dan “foto-foto kegiatan” bisa jadi indikasi bahwa partisipasi publik hanya dimaknai sebagai legalitas formatif, bukan keterlibatan substantif. Hal ini tentu patut dikritisi, apalagi jika kita bicara soal kebijakan besar yang menyangkut kepentingan masyarakat luas.
Pertanyaan berikutnya: siapa yang benar-benar diajak bicara? Banyak forum-forum “konsultasi publik” yang diadakan secara tertutup, dengan peserta yang itu-itu saja, atau hanya menampilkan tokoh-tokoh yang setuju. Ketika ada kritik, sering kali dianggap sebagai gangguan atau bahkan disingkirkan dari diskusi.
Ini membuat dokumentasi kegiatan (yang sering disebut sebagai bukti partisipasi) menjadi semacam “cermin satu arah”—menampilkan seolah-olah prosesnya inklusif, padahal kenyataannya tidak.
Di era digital, pencitraan menjadi sangat mudah. Satu foto yang menampilkan kerumunan, banner besar bertuliskan “dialog publik”, dan postingan media sosial bisa menciptakan narasi bahwa “masyarakat sudah dilibatkan”. Namun siapa yang benar-benar bicara? Dan siapa yang didengarkan?
Jika suara kritis tidak masuk notulen, jika saran warga tidak mengubah satu pun pasal kebijakan, maka seluruh proses itu hanyalah dekorasi demokrasi.
Tentu tidak semua partisipasi publik dimaknai serendah itu. Ada juga proses-proses deliberatif yang berjalan tulus dan terbuka. Tapi kita perlu terus mengawasi dan menuntut agar:
Ruang partisipasi dibuka seluas-luasnya
Dokumentasi bukan sekadar pembuktian formal, tapi rekaman realitas
Hasil diskusi betul-betul tercermin dalam kebijakan
Opini semacam ini bukan untuk menyudutkan pribadi atau lembaga tertentu, tapi untuk menjaga kualitas demokrasi agar tidak bergeser jadi ritual formal yang hampa makna.
Partisipasi publik tak boleh dipersempit menjadi arsip foto dan lembar risalah. Demokrasi sejati tidak ditentukan oleh jumlah dokumentasi, tapi oleh seberapa besar rakyat didengar—dan kebijakan berubah karena mereka.
📌 Jika partisipasi hanya menjadi formalitas, maka pemerintah hanya berdialog dengan bayangannya sendiri