Dalam atmosfer politik yang sering dipenuhi kegaduhan dan transaksionalisme kekuasaan, dua figur muncul sebagai simbol harapan baru. Mereka adalah Dedi Mulyadi, tokoh rakyat yang membumi dan membela akar budaya; serta Anies Baswedan, sosok intelektual yang menyalakan arah kebijakan melalui kekuatan gagasan. Keduanya memimpin dengan pendekatan yang kontras, namun keduanya memiliki satu kesamaan: menjadikan rakyat sebagai inti dari kepemimpinan.
Kisah mereka bukan sekadar personal, melainkan bagian dari narasi besar tentang arah republik ini. Dalam perjalanan bangsa yang kerap kehilangan pegangan etis dan moral, Dedi dan Anies menghadirkan alternatif yang menyegarkan. Mereka bukan sekadar menjanjikan perubahan, tetapi menunjukkan bagaimana perubahan itu bisa dan harus dilakukan.
Dedi Mulyadi: Wajah Kepemimpinan yang Merakyat
Lahir dan besar di Subang, Dedi Mulyadi telah lama dikenal sebagai figur yang dekat dengan rakyat kecil. Ia meniti karier dari bawah: dari Ketua RT, menjadi Bupati Purwakarta dua periode, hingga kini duduk di kursi DPR RI. Namun yang membedakan Dedi dengan politisi lain adalah komitmennya terhadap budaya lokal dan keseharian rakyat kecil.
Tak jarang Dedi terlihat menyusuri kampung, menumpangi motor atau bajaj, berbincang dengan petani, ibu rumah tangga, hingga tukang sol sepatu. Semua dilakukan bukan untuk pencitraan, tapi karena memang itu jiwanya.
“Saya percaya, suara rakyat paling tulus terdengar di sawah, bukan di ruang rapat mewah,” ujar Dedi dalam satu kunjungan ke Indramayu.
Dedi mempopulerkan pendekatan kepemimpinan berbasis kearifan lokal. Ia aktif melestarikan budaya Sunda melalui regulasi daerah dan kegiatan sosial. Ia percaya bahwa bangsa yang besar harus berdiri di atas akar budayanya sendiri.
Selain pendekatan budaya, Dedi juga dikenal sebagai aktivis lingkungan. Ia menolak eksploitasi alam berlebihan dan menekankan pembangunan berkelanjutan. Semua itu dilakukan karena, menurutnya, pembangunan tanpa keseimbangan akan menghancurkan masa depan generasi penerus.
Anies Baswedan: Kepemimpinan Berbasis Gagasan dan Kolaborasi
Berbeda dengan Dedi, Anies Baswedan datang dari jalur akademik dan teknokratis. Mantan Menteri Pendidikan dan Gubernur DKI Jakarta ini dikenal sebagai pemimpin yang mengedepankan narasi, konsep, dan prinsip keadilan sosial.
Selama memimpin Jakarta, Anies membangun kota tidak hanya dengan infrastruktur fisik, tapi juga dengan infrastruktur sosial. Ia memperkenalkan konsep Jakarta Kota Kolaborasi dan mereformasi banyak kebijakan untuk menjadikan kota lebih manusiawi, adil, dan inklusif.
Salah satu kebijakan terkenalnya adalah integrasi transportasi publik melalui program JakLingko, yang kini diakui sebagai salah satu terobosan sistemik yang sukses.
“Membangun kota itu bukan soal beton dan baja. Tapi tentang menghadirkan keadilan di setiap sudut kehidupan warganya,” ucap Anies dalam pidato peluncuran Urban 20.
Anies juga dikenal melalui inisiatif pendidikan seperti Indonesia Mengajar, yang mengirimkan guru-guru muda ke daerah-daerah terpencil. Ia menggabungkan nilai-nilai kemanusiaan dengan visi kebijakan yang kuat, menjadikan politik sebagai sarana perubahan sosial, bukan sekadar alat perebutan kekuasaan.
Dua Gaya, Satu Tujuan: Indonesia yang Lebih Baik
Meski berbeda latar, gaya, dan pendekatan, Dedi dan Anies sama-sama menunjukkan bahwa kepemimpinan tidak harus diseragamkan. Dedi hadir dengan sentuhan langsung kepada rakyat, Anies datang membawa desain perubahan sistemik.
Mereka membuktikan bahwa politik tidak harus kotor, tidak harus menjilat kekuasaan. Politik bisa menjadi rumah ide dan panggung pengabdian. Keduanya memberikan contoh bahwa pemimpin bisa tetap berintegritas, bahkan dalam sistem yang korosif.
Di saat publik jenuh dengan janji-janji kosong, nama Dedi dan Anies menjadi semacam simbol bahwa masih ada harapan untuk bangsa ini. Harapan bahwa kepemimpinan bisa jujur, tulus, dan visioner. Harapan bahwa rakyat bisa kembali percaya pada negaranya.
Menyulam Harapan Lewat Kolaborasi Masa Depan
Bayangkan jika dua gaya ini — humanis dan konseptual — suatu saat bertemu dalam satu kabinet, atau bahkan satu barisan perjuangan politik. Maka Indonesia bisa menjadi negara yang kuat bukan hanya dalam pembangunan, tapi juga dalam peradaban.
Generasi muda perlu belajar dari mereka. Bahwa menjadi pemimpin bukan soal popularitas, tapi soal keberanian untuk bersetia pada nilai. Setia pada rakyat. Setia pada masa depan.
Baca juga: Narasi Bangsa: Dua Jalan Menuju Pelita Republik
Baca selengkapnya: Jakarta Kota Kolaborasi: Warisan Anies untuk Indonesia
Tautan Eksternal: Profil Lengkap Dedi Mulyadi