14.2 C
Los Angeles
Wednesday, April 30, 2025

“Negara Membusuk dari Kepala: Presiden Tidak Bisa Lagi Bersembunyi di Balik Retorika Hukum”

Opini"Negara Membusuk dari Kepala: Presiden Tidak Bisa Lagi Bersembunyi di Balik Retorika Hukum"

Oleh: M.A Rahman

Di tengah janji transisi demokrasi dan pembangunan, publik kembali dibuat muak oleh fakta yang tak terbantahkan: para pejabat terindikasi korupsi justru naik pangkat, bukannya diperiksa. Dan yang lebih tragis lagi, Presiden Republik Indonesia—yang seharusnya jadi pemegang kendali atas jalannya pemerintahan—justru diam, bahkan cenderung membiarkan.

Ini bukan soal kegagalan teknis. Ini adalah pengkhianatan struktural terhadap UUD 1945, khususnya terhadap amanat agar Presiden menjaga integritas pemerintahan dan menjamin supremasi hukum tanpa pandang bulu.

UUD 1945: Presiden Bukan Raja, Tapi Mandataris Rakyat

Pasal 4 UUD 1945 menyatakan Presiden memegang kekuasaan pemerintahan. Tapi kekuasaan ini bukan seperti mahkota raja yang absolut. Ia dikunci dengan prinsip checks and balances serta tanggung jawab penuh atas jalannya pemerintahan. Artinya, ketika lembaga-lembaga penegak hukum seperti KPK, kejaksaan, dan kepolisian tidak menjalankan tugasnya secara adil, maka Presidenlah yang pertama harus dimintai pertanggungjawaban moral dan konstitusional.

Apalagi dalam sistem presidensial seperti Indonesia, Presiden memiliki kekuasaan strategis atas pengangkatan pejabat, penindakan etika, dan bahkan arah kebijakan pemberantasan korupsi. Maka, jika pejabat yang sudah jelas-jelas terlibat skandal masih dipertahankan atau diangkat, publik punya hak untuk bertanya:
Apakah Presiden sedang menutup mata, atau justru terlibat dalam permainan ini?

Prabowo dan Lanjutan Politik Pembiaran

Ketika Prabowo Subianto menyusun kabinet, harapan rakyat adalah bahwa pemerintahan baru ini tidak mengulangi pola Jokowi: politik akomodasi, kompromi moral, dan pengorbanan integritas demi stabilitas semu. Tapi sayangnya, beberapa nama yang muncul justru membawa jejak kelam, bahkan masuk dalam radar KPK atau pernah disebut dalam kasus besar. Namun hingga kini, tidak ada satupun perintah terbuka dari Presiden terpilih untuk menunda pelantikan atau mendorong pemeriksaan.

Di mana suara Presiden terhadap semua ini?
Mengapa rakyat harus diam saat jabatan negara dijadikan tempat pelarian para penjarah uang rakyat?

Pembiaran Koruptor = Persekongkolan Kekuasaan

Pasal 7B UUD 1945 menyatakan bahwa Presiden dapat diberhentikan jika terbukti melanggar hukum atau tidak menjalankan mandatnya. Tapi secara politik, kita tahu itu berat. Maka satu-satunya mekanisme kontrol yang tersisa adalah opini publik dan tekanan masyarakat sipil.

Pembiaran terhadap korupsi di level tinggi bukan lagi kelalaian. Ia adalah bagian dari desain kekuasaan yang memang tidak pernah berniat membersihkan pemerintahan dari penjahat berdasi. Diamnya Presiden bukan netralitas—itu adalah keberpihakan yang mematikan.

Saatnya Rakyat Bicara: Tak Ada Jalan Tengah antara Korupsi dan Demokrasi

Jika Presiden hari ini (dan Presiden terpilih esok) tidak mampu atau tidak mau membersihkan lingkaran kekuasaannya dari para penyamun, maka rakyat tidak punya pilihan selain bersuara lebih keras.

Demokrasi bukan hanya soal mencoblos. Demokrasi adalah soal memastikan para penguasa tidak kebal hukum. Dan jika Presiden tidak berdiri di pihak rakyat dalam perang melawan korupsi, maka ia telah berpihak pada lawan dari republik ini: para oligark, para makelar kekuasaan, dan para perampok uang negara.

Negara membusuk dari kepala. Dan jika kita diam, kita semua ikut membusuk bersama

Check out our other content

Check out other tags:

Most Popular Articles