Transformasi pengelolaan aset negara melalui pengalihan 844 Badan Usaha Milik Negara (BUMN) ke dalam kendali Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (Danantara) merupakan langkah berani dan penuh konsekuensi dalam sejarah ekonomi-politik Indonesia. Dengan nilai aset mencapai sekitar Rp14.700 triliun, Danantara menjadi salah satu entitas ekonomi terbesar di Indonesia, bahkan berpotensi menjadi salah satu lembaga investasi negara terbesar di dunia. Langkah ini seolah menjadi simbol bahwa negara ingin keluar dari skema pengelolaan yang rigid, birokratis, dan sering kali tidak efisien ke arah model korporatis yang lebih lincah, modern, dan kompetitif. Namun, seiring besarnya potensi, besarlah pula pertaruhannya.
Perspektif Politik: Rekonstruksi Kekuasaan Ekonomi dan Kontrol Publik
Dari sudut pandang politik, kelahiran Danantara bukan hanya kebijakan ekonomi biasa, melainkan juga manuver kekuasaan. Di balik jargon optimalisasi aset negara, terdapat konsolidasi kendali atas perusahaan-perusahaan milik negara yang sebelumnya tersebar dan terpisah-pisah. Menteri BUMN kini menjabat sebagai Ketua Dewan Pengawas Danantara, dan anggota lainnya berasal dari lingkar kekuasaan eksekutif. Ini berarti sebagian besar pengambilan keputusan strategis akan ditentukan oleh aktor-aktor politik yang dekat dengan lingkar kekuasaan, bukan oleh mekanisme pasar murni atau prinsip meritokrasi.
Kritik muncul ketika publik mempertanyakan apakah Danantara akan benar-benar independen atau justru menjadi alat kekuasaan baru yang sulit diawasi. Dalam sistem demokrasi yang sehat, pengelolaan kekayaan negara semestinya tunduk pada prinsip transparansi dan partisipasi publik. Jika tidak hati-hati, Danantara bisa menjadi “kerajaan ekonomi dalam negara” yang kebal dari kritik dan koreksi publik. Oleh karena itu, transparansi dan pengawasan menjadi keniscayaan yang tak bisa ditawar.
Perspektif Ekonomi: Mimpi Efisiensi atau Kapitalisasi Terbuka?
Dari sisi ekonomi, ide dasar di balik Danantara sebenarnya sangat rasional. Aset negara yang tersebar di berbagai BUMN sering kali tidak dikelola secara optimal. Banyak perusahaan pelat merah yang menjadi beban negara akibat inefisiensi, korupsi, atau intervensi politik. Dengan mengonsolidasikan aset ke dalam satu badan pengelola investasi, pemerintah berharap bisa meningkatkan nilai tambah, menarik investor global, dan mempercepat transformasi industri strategis nasional seperti hilirisasi mineral, energi terbarukan, dan digitalisasi layanan publik.
Namun, konsekuensi ekonominya tidak ringan. Pengalihan BUMN ke Danantara berarti bahwa dividen tidak lagi masuk ke kas negara secara langsung melalui APBN, melainkan akan dikelola ulang untuk kepentingan investasi. Hal ini memicu pertanyaan: bagaimana negara menutup potensi hilangnya penerimaan PNBP (Penerimaan Negara Bukan Pajak)? Apakah Danantara akan mengalirkan hasil kelolanya secara merata kepada publik, atau justru terjebak dalam logika akumulasi kapital yang eksklusif? Model ini menuntut perencanaan fiskal baru yang matang dan kemampuan untuk tetap menjaga keseimbangan antara produktivitas aset dan kesejahteraan rakyat.
Perspektif Hukum: Reinterpretasi Status BUMN dan Risiko Yuridis
Secara hukum, langkah ini membawa implikasi besar. Status hukum BUMN sebagai kekayaan negara yang dipisahkan menjadi pertanyaan utama. Dalam Undang-Undang, BUMN adalah badan usaha yang modalnya berasal dari penyertaan negara dan tercatat sebagai bagian dari kekayaan negara. Namun setelah beralih ke Danantara, saham-saham negara di BUMN tidak lagi tercatat secara langsung di APBN. Ini memunculkan debat apakah BUMN yang ada di bawah Danantara masih memenuhi kriteria sebagai BUMN.
Pemerintah berupaya menyesuaikan dengan RUU BUMN 2025, yang mendefinisikan ulang status BUMN agar tetap dapat diklaim sebagai milik negara meski tidak lagi mayoritas sahamnya dipegang pemerintah. Lebih dari itu, ada klausul dalam kerangka hukum Danantara yang menyatakan bahwa Menteri BUMN dan manajemen tidak dapat dipidana apabila kerugian terjadi selama mereka bertindak berdasarkan prinsip “business judgment rule”. Ini berpotensi menjadi celah hukum yang menimbulkan imunitas terhadap tindakan maladministrasi atau korupsi terselubung.
Harapan: Jalan Tengah antara Akuntabilitas dan Profesionalisme
Terlepas dari berbagai pro dan kontra, pembentukan Danantara adalah momentum besar yang bisa membawa perubahan positif bagi perekonomian Indonesia. Jika dikelola dengan prinsip tata kelola yang baik, profesionalisme tinggi, serta transparansi yang kuat, maka Danantara bisa menjadi tonggak penting dalam memperkuat kemandirian ekonomi nasional.
Namun jika dibiarkan menjadi menara gading kekuasaan ekonomi yang tak terjangkau rakyat, maka transformasi ini hanya akan memperlebar kesenjangan dan memperlemah kontrol demokratis atas aset negara. Harapannya, pemerintah dan masyarakat sipil bisa menjaga agar Danantara tidak hanya besar dalam angka, tapi juga dalam integritas, manfaat publik, dan keadilan ekonomi. Karena pada akhirnya, kekayaan negara adalah milik rakyat, dan pengelolaannya harus menjamin kemakmuran bersama, bukan keuntungan segelintir elit.