Pada 20 Maret 2025, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Indonesia mengesahkan revisi Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI) yang memungkinkan personel militer aktif menduduki lebih banyak posisi sipil tanpa harus mengundurkan diri dari dinas militer. Revisi ini memperluas jumlah lembaga sipil yang dapat diisi oleh militer dari 10 menjadi 14, termasuk Kejaksaan Agung, Mahkamah Agung, dan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme.​
Presiden Prabowo Subianto, mantan jenderal pasukan khusus dan menantu Presiden Soeharto, mendukung penuh revisi ini dengan alasan adaptasi terhadap tantangan geopolitik dan teknologi global. Namun, kelompok pro-demokrasi dan aktivis hak asasi manusia menyatakan kekhawatiran bahwa langkah ini dapat mengembalikan dominasi militer dalam pemerintahan sipil, mengingat sejarah masa Orde Baru di bawah Soeharto.​
Proses pengesahan UU ini juga menuai kritik karena dianggap terburu-buru dan minim partisipasi publik. Diskusi dilakukan secara tertutup, termasuk pertemuan di hotel mewah di Jakarta Selatan pada 15 Maret 2025. Protes dari mahasiswa dan kelompok masyarakat sipil terjadi di sekitar gedung parlemen, menuntut pembatalan UU yang mereka sebut sebagai “pembunuh demokrasi”.​